"Jika memang benar aku adalah nama yang saat ini berada di genggaman ilahi yang ditakdirkan bersamamu, berarti kita memang berjodoh."
Aqilah Nadhifah Husaini
💝💝💝
Beberapa hari setelah membicarakan masalah lamaran Gibran pada Asla, ia pun memberanikan diri untuk menemui Hasan di Pondok Al-Hikmah kediaman paman dari Aqilah. Gibran sengaja mendatangi Hasan pada pukul 10 pagi karena ia tahu bahwa Aqilah sedang di rumah sakit sekitar jam 10-an keatas.
"Ada apa nak Gibran datang kemari sendirian?" Hasan terlebih dahulu angkat bicara melihat Gibran sejak awal hanya diam dan gugup.
Gibran menarik napas dan menghembuskannya pelan-pelan. "Saya mau melamar Aqilah, Pak Kiayi. Sudah lama saya mencintainya. Sebelumnya pun saya pernah bertemu dengannya. Saya tidak ingin rasa cinta saya semakin lama semakin membuat saya tidak terkendali sebelum menikah."
Sekar datang membawa dua cangkir teh dan cookies coklat buatannya sembari mendengarkan pembicaraan antara suaminya dan Gibran. Dalam hati ia bersorak karena tebakannya benar bahwa Si Gibran mencintai ponakannya.
"Silahkan diminum nak, Abi." sela Sekar diantara perbincangan keduanya. Gibran dan Hasan pun mengangguk patuh hingga akhirnya Sekar pamit ke belakang.
Hasan berdehem untuk mengembalikan fokus Gibran pada niat awalnya menemui Hasan. "Jadi nak Gibran ini mau melamar ponakan saya?"
"Iya Pak Kiayi." jawab Gibran dengan tegas.
"Tapi nak, saya tidak bisa memberimu jawaban apa-apa. Sebab jawaban yang sesungguhnya ada pada pihak perempuan yang ingin kamu nikahi. Kamu tau kan dia baru saja patah hati?"
Gibran mengangguk dan diam tak berkutik.
Apakah perkataan Om Hasan ini secara tidak langsung bahwa ia menolakku? Tidak.. Aqilah harus menjawab YA. Aku akan memaksanya. Teriak Gibran dalam hati yang merasa tidak terima atas penolakan yang diberikan oleh Hasan.
"Kamu bisa menjadi obat untuk Aqilah jika Aqilah mau membuka hati dan pikirannya untuk orang lain, seperti kamu." sambung Hasan yang membuat Gibran seperti mendapatkan harapan.
Aku bukan orang lain untuk Aqilah. Aku ini orang yang dicintai olehnya. Lagi-lagi Gibran hanya mengelak dalam hati. Ia tidak begitu berani melakukannya di depan keluarga Aqilah karena itulah yang bisa menghambat persetujuan mereka terhadap lamarannya.
"Iyaa Pak. Anda benar. Saya akan menjadi penawar itu untuknya."
"Baiklah. Saya akan membantumu berbicara dengan Aqilah. Tapi ingat, kamu harus menjaga jarak dari ponakan saya. Saya tidak ingin terjadi fitnah diantara kalian." tegas Hasan yang diangguki mantap oleh Gibran.
"Kalau begitu, saya permisi dulu yahh Pak." pamit Gibran.
"Iya nak. Kamu Hati-hati di Jalan."
"Baik Pak. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Pria itu memandangi pondok pesantren Al-Hikmah. Entah kenapa hatinya begitu damai melihat pemandangan yang ada di depan matanya. Para santri berbondong-bondong menuju mesjid untuk menyetorkan hafalannya di waktu dhuha. Sekaligus sholat dhuha karena pukul 10-an tepat saat jam istirahat mereka dari pelajaran SMP-nya.
Ia berjalan menuju mobilnya yang terparkir cukup jauh kediaman Hasan. Tanpa sengaja Gibran melihat papan yang bertuliskan KANTIN sehingga ia berinisiatif untuk menyegarkan tenggorokannya sekaligus istirahat sejenak di tempat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wasiat Aqilah [LENGKAP]
Romance[Spiritual-Romance] Bertahun-tahun lamanya Gibran Ghifari Said Asla sulit melupakan Aqilah-gadis yang ia temui 12 tahun yang lalu. Namun, ia dipertemukan kembali dengan gadis yang sama dan berstatus sebagai tunangan dari sosok pria sholeh, bernama A...