Part 26

2K 144 3
                                    

"Aku juga mencintaimu, sangat mencintaimu. Aku tidak peduli dengan rasa bencimu, karena sedetik pun aku tidak pernah mengkhianatimu, Aqilah."

Gibran Ghifari Said Asla

***

Kesedihan yang dirasakan Aqilah lima bulan yang lalu berlangsung hingga sekarang. Kehidupan rumah tangganya berjalan seperti biasanya. Ia melakukan tugasnya sebagai seorang istri dengan baik. Namun, sifat manja, cerewet, judes, ceria yang dimiliki Aqilah seolah direnggut oleh rasa sakitnya dan digantikan oleh seorang Aqilah yang lebih banyak diam. Meskipun, Gibran berusaha mengajak Aqilah berbicara dan bersikap manis, justru Aqilah malah menjauh dari pria itu.

Muak. Satu kata yang menguasai hatinya selama beberapa bulan terakhir. Ia kembali beraktivitas sesuai statusnya sebagai seorang istri dan profesinya sebagai dokter. Keras kepala Aqilah yang membuat Gibran sulit untuk menjelaskan kejadian lima bulan yang lalu di kantornya. Wanita itu selalu menghindarinya saat membahas hal itu dan Gibran kembali bungkam, tidak ingin membuat sang istri stress apalagi memaksanya untuk tetap mendengarkannya. Penjelasan yang sebenarnya harus diketahui Aqilah sejak awal agar kesalahpahaman itu tidak berlangsung lama, seperti sekarang ini.

"Bang, ini kopinya." Seperti biasa, Aqilah membuat secangkir kopi untuk Gibran yang sedang bekerja di malam hari. Pekerjaan yang seharusnya ia kerjakan di kantor, justru ia kerjakan di rumah. Sebab, tiap malam saat ia tahu bahwa Aqilah hamil, ia jarang sekali pulang lewat jam 6 sore serta menghindari kecurigaan Aqilah padanya. Meskipun ia tahu, Aqilah tidak lagi peduli dengannya yang ingin pulang dan pergi dengan siapa, mau ia bawa pria dan wanita, tidak lagi menjadi masalah untuk wanita itu. Cukup menyedihkan bagi Gibran. Jika disuruh memilih, ia lebih memilih Aqilah mengomelinya hingga pagi karena berbuat kesalahan dari pada mendiaminya dan tidak lagi peduli dengan apapun kesalahan yang dilakukan.

"Makasih yahh, sayang." Gibran melemparkan senyuman hangat dengan tatapan sendu, menatap istrinya yang kini sangatlah berbeda. Sedangkan Aqilah membalasnya dengan senyuman tipis.

"Yaudah, aku tidur duluan. Kalo kamu capek, tidur aja. Jangan maksain untuk tetap kerja."

Saat Aqilah hendak meninggalkan Gibran, pria itu justru memeluk pinggang Aqilah dari belakang. Tubuh kurus wanita itu membatu kala Gibran mengelus perutnya yang buncit.

"Maafkan Ayah, nak. Ayah nggak bisa bikin Bunda bahagia. Tubuhnya semakin kurus. Itu tandanya Ayah gagal jadi suami dan ayah yang baik."

"Maafkan aku, Aqilah."

Suara Gibran terdengar serak dan parau serta menenggelamkan wajahnya di pinggang Aqilah. Ia juga merasa sakit atas kegagalannya, melihat keadaan istrinya yang jarang sekali tersenyum seperti diawal pernikahannya.

"Aku nyesel sekarang. Sepertinya, Afif lebih pantas bersamamu dan bisa membahagiakanmu , dari pada aku. Aku terlalu dikuasai nafsu dan obsesi untuk memilikimu, lalu berdalih karena cinta."

"Jadi, Abang ingin menyalahkan takdir? Udah terlambat Bang. Perkataan Abang, bikin aku mikir kalo Abang mau ceraikan aku saat anak ini lahir. Lalu, Abang akan hidup bahagia dengan wanita itu. Silahkan. Lakukan sesukamu, aku tidak peduli. Biarlah Allah membenciku karena tidak bisa mengingatkan suamiku sendiri." Aqilah menelan salivanya kala membayangkan apa yang dikatakannya itu benar-benar kenyataan di masa depan dan ia menjadi seorang janda diatas kebahagiaan Gibran dengan wanita lain. Atau lebih tepatnya ia akan menjadi single parent, karena ia tidak akan memberikan buah hatinya pada seseorang yang tidak layak mengasuh anaknya. Kenyataan pahit apalagi yang akan ia terima?! Apakah Gibran sangat hobi mempermainkan perasaannya?!

Dahi Gibran mengernyit. Ia berdiri dan membalikkan tubuh Aqilah agar wanita itu bisa melihat wajah Gibran yang bingung sekaligus sedih. "Kamu ngomong apa sih Aqilah?"

Wasiat Aqilah [LENGKAP] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang