Part 12

2K 165 0
                                    

"Aku menahan diri, belajar menjadi seorang yang pantas untuk bersanding denganmu, tapi ini balasanmu?! Pada akhirnya Kamu hanya memilih dia."

Gibran Ghifari Said Asla

💝💝💝

Pesan singkat masuk tepat pukul 03.30 dari seseorang yang sudah lama Gibran nantikan pesannya. Tidak sia-sia ia lembur semalaman mengurus berkas-berkas yang harus ia periksa dengan teliti. Selain, angkuh, dan berwajah datar, Gibran juga adalah seorang perfectionist dan profesional dalam bekerja. Terkecuali, ada sesuatu yang membuatnya tidak profesional.

Senyuman terbit di wajah tampannya. Pertanda bahwa pesan singkat itu menunjukkan hal yang menyenangkan baginya. Ia bergegas menyelesaikan berkas-berkas yang ada di depannya itu lalu mengistirahatkan tubuhnya. Ia tidak sabar menunggu matahari terbit di ufuk timur.

***

Gugup dan malu. Dua kata itu yang mewakili perasaan Aqilah di kala matahari mulai memancarkan cahayanya dibalik tirai yang masih tertutup. Gugup, karena ia tidak tahu apa yang harus ia katakan pada Gibran. Malu, karena ia sempat menolak mentah-mentah pria itu. Namun pada akhirnya, ia tetap menerimanya. Ia benar-benar malu, jangan sampai Gibran berpikiran bahwa ia sok jual mahal padahal suka dan terpesona padanya, dan segala macam ucapan-ucapan ejekannya. Aqilah cukup mengenal Gibran yang super percaya dirinya melebihi dunia dan seisinya.

Rasanya Aqilah ingin memperlambat waktu. Ia tidak ingin bertemu dengan Gibran. Andai saja ia memiliki kekuatan untuk mendorong atau menahan matahari agar tidak muncul di bumi ini, akan ia lakukan agar tidak bertemu dengan Gibran yang akan mengejeknya.

"Nak, sarapannya dimakan. Jangan cuma diliatin aja," tegur Amirah yang memperhatikan putrinya sejak duduk di kursi berhadapan dengannya.

"E-ehh, Iya Bunda. Aqilah cuma agak enak badan." Ia tidak berbohong. Tubuhnya terasa diremukkan. Efek lelah mondar-mandir keluar UGD baru terasa di pagi hari.

"Emang istirahatmu kurang nak? Kamu tuhh dokter, seharusnya banyakin istirahatnya juga." Masih pagi, Aqilah sudah sarapan nasihat Bundanya karena berdalih tidak enak badan. Meskipun itu memang benar. Tapi tidak seharusnya ia berkata jujur tentang hal itu. Jadinya malah dapat nasihat di pagi hari.

Aqilah hanya mengangguk lemah dan memulai sarapannya. Menu yang ada dihadapannya itu terlihat lezat, tapi tidak untuknya. Sekelabat pikiran yang menari-nari di kepalanya, membuat sarapan pagi yang seharusnya terasa nikmat malah terasa hambar.

Usai sarapan pagi, Aqilah lari-lari keliling gedung-gedung yang ada di pondok pesantren itu. Para santriwati menyemangati Aqilah. Hampir setiap pagi Aqilah lakukan hingga penduduk pondok pesantren Al-Hikmah memahami rutinitas Aqilah.

Sebuah gazebo yang hampir mirip pondok-pondok kecil di belakang asrama putri, menjadi tempatnya istirahat setelah lelah berlari. Di tempat itu, siapa pun akan disuguhkan pemandangan yang Indah. Dimana terlihat sungai dengan aliran air yang tidak terlalu deras dan jernih. Ketika tersentuh kaki, tubuh pun menjadi rileks karena airnya dingin dan segar, terutama di pagi hari. Jika ingin berjalan lebih dalam mengikuti sumber air sungai itu, kita akan menemukan air terjun yang sangat indah.

Aqilah melepas sepatunya dan kaos kakinya pasca celingak-celinguk dan yakin bahwa tidak akan ada pria yang melihat kakinya tanpa kaos kaki. Rasanya ia ingin berenang. Saking jernihnya, bayangan wajahnya terpantul di air jernih itu seperti sedang bercermin.

Melihat wajahnya sendiri, tiba-tiba ia teringat dengan pria menyebalkan itu. Benar, ia melakukan segala cara agar bisa mendapatkan Aqilah. Pikirannya tertuju padanya. Dengan berbekalan air mineral, Aqilah meneguk air mineral itu dengan satu kali tegukan. Bahkan dahaganya hilang seketika dan membuat perutnya begah. Dengan harapan, pria itu segera menghilang dari pikirannya.

Wasiat Aqilah [LENGKAP] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang