Part 24

1.9K 139 2
                                    

'Bagaimana aku mau menghubungimu sementara kamu sama dengan wanita lain yang hamil entah anak siapa?'

Aqilah Nadhifah Husaini

***

Akhirnya, seluruh pasien kecelakaan yang butuh operasi usai ditangani oleh Aqilah. Ia mendudukkan tubuhnya di lantai tepat di depan pintu ruang operasi. Ia memejamkan matanya. Lelah rasanya setelah menangani pasien kecelakaan beruntun yang butuh penanganan segera. Bersamaan saat dokter pria yang bekerja di rumah sakit seminggu setelah Aqilah, menyodorkan minuman dingin tepat di pipinya. Alhasil, wanita itu terperanjat kaget dan langsung berdiri, menatap tajam pria itu.

"Nggak usah gitu banget ngeliatnya. Tatapanmu itu kayak pisau saking tajamnya." David berusaha membuat Aqilah terlihat lebih santai dengannya. Tapi malah sebaliknya.

"Maaf, saya harus istirahat." Aqilah hendak melangkah pergi, namun dihadang oleh David.

Wanita itu celingak-celinguk melihat lorong rumah sakit yang sepi. Hanya ada David dan dirinya, semakin membuatnya tidak nyaman.

"Setidaknya ambil kek minuman ini. Hargain."

"Berapa harganya? Cepetan. Saya tidak nyaman berduaan sama kamu." ujar Aqilah dengan wajah datar.

"Maksud aku, ini minumannya ambil aja. Gratis. Aku liat kamu capek karena udah kerja dengan keras."

Aqilah meraih minuman itu dan berterima kasih. Ia meninggalkan pria yang berdiri menatap kepergiannya. Pria yang sering kali mengusik ketenangan hidupnya di rumah sakit. Entah alasannya apa, yang jelas David sudah tahu status Aqilah yang notabenenya adalah Istri dari seorang Gibran, si Mr. CEO.

Di kantin, Farah mendekati Aqilah yang terlihat pucat dan lelah. Gadis itu menatap miris Aqilah yang akhir-akhir ini jauh dari kata ceria. Meskipun, dalam hati Farah sangat penasaran dengan apa yang terjadi dengan Aqilah tapi tetap saja ia selalu mengurungkan niatnya untuk bertanya. Terlebih lagi, jika itu menyangkut kehidupan rumah tangga Aqilah. Bagaimana mungkin ia ikut campur?!

"Kok pucet sihh, nggak biasanya." Farah menarik kursi untuk duduk di hadapan Aqilah. Gadis itu bertopang dagu mengamati Aqilah.

Sementara, yang diamati sedemikian rupa pun merasa risih. "Apasih? Nggak usah segitunya Farah. Aku cuma capek habis nanganin banyak pasien."

"Tapi Qilah, mukamu pucat loh. Nggak kayak biasanya."

"Nggak. Kamu kurang teliti dan lebay aja."

"Aqilah keras kepala, kamu tuh yahh. Sini aku periksa."

Farah mendekat dan merogoh stetoskopnya. Aqilah malah menolak. "Kamu lupa Far, aku kan juga dokter."

"Nggak lupa kok. Kalo kondisimu kayak gitu, mana bisa periksa pasien. Apalagi diri sendiri. Kadang kita nggak menyadari dan memahami diri sendiri. Kadang kita justru lebih memahami orang lain dari pada diri sendiri."

"Hahahaha, iyaa iyaa Bu Dokter yang cantik nan sholehah. Aku mau pulang aja."

"Kok pulang sih?"

"Emang kamu mau nyuruh aku nginep?"

"Nggak sih."

"Yaudah, suamiku udah nungguin di depan."

"Enak yahh punya suami."

"Enak, nggak enak, Far. Kamu perbaiki diri aja dulu. Tapi niatnya karena Allah. Okee, Dahh. Assalamu'alaikum."

"Hati-hati. Wa'alaikumussalam."

Tidak ingin membuat sang suami menunggu lama, Aqilah sedikit berlari saat melihat notifikasi pesan Gibran masuk ke handphonenya usai mengemas semua barangnya. Tidak lupa ia memberi lip cream pada bibirnya agar tidak terlihat pucat saat bersua dengan suaminya. Meskipun, lip cream itu tidak mampu menutupi wajah pucat dan lelahnya.

Wasiat Aqilah [LENGKAP] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang