Part 33

1.9K 131 0
                                    

Tiba waktunya Gibran berangkat ke Bogor tanpa sepengetahuan siapa pun, kecuali Chandra. Terakhir kali Gibran menghubungi Aqilah kemarin saat ia mengemasi barang-barangnya. Setelah perjalanannya dari Bogor, ia akan lanjut menuju Padang tempat dimana wanita yang sudah beberapa bulan menemani hari-harinya. Sengaja ia tidak memberitahu Aqilah karena ia ingin menjadikan kedatangannya adalah sebuah kejutan. Bukan hanya itu, tentu Aqilah akan mewawancarai Gibran jika ia tahu Gibran akan berangkat ke Bogor tanpa alasan yang pas menurut nalarnya.

Hanya butuh satu jam lebih, Gibran tiba di Bogor menggunakan mobilnya. Ia lebih memilih menyetir sendiri karena jika ia bersama dengan supir, ia tidak akan leluasa bergerak kesana kemari menggunakan mobilnya. Bisa jadi ia juga akan melaporkan seluruh aktivitasnya pada Syakilah dan Asla.

Gibran tiba di sebuah rumah yang merupakan rumah yang penuh kenangan masa kecilnya. Tidak ada yang berubah. Taman bunga yang dulu Syakilah rawat dengan baik masih saja terawat dengan sangat baik. Padahal Said hanya tinggal sendiri di rumah itu. Sesekali, ia pun ditemani oleh sepasang suami istri yang umurnya jauh lebih tua dari Said. Pasangan suami istri itu biasa membersihkan rumah dan membuatkan makanan untuk Said. Kemudian ia kembali di sebuah rumah kecil di samping rumah Said. Gibran sangat mengenal mereka karena sejak kecil atau mungkin sebelum ia lahir, mereka sudah bekerja pada keluarganya.

Pria itu tersenyum miris saat mengingat kenangan masa kecilnya bersama kedua orang tuanya dan Galih. Bahkan ia seperti menyaksikan bagaimana mereka tumbuh di rumah itu sebelum peristiwa pahit itu terjadi dalam keluarganya. Mereka terlihat bahagia dulu, Papa dan Mamanya pun seperti itu. Tapi entah kenapa kedua orang tuanya bisa berpisah. Padahal mereka terlihat akur dan baik-baik saja. Mulai saat kedua orang tuanya berpisah, Gibran mulai menjadi pria liar.

"Hei nak." Sapa pria paruh baya yang kini datang dari belakang Gibran.

"Papa?" Gibran menatap Said yang terlihat semakin tua. Wajahnya terlihat senang melihat kedatangan putranya walau masih jelas raut wajah lelahnya usai bekerja. Gibran meraih punggung tangan Said lalu ia cium. Biar bagaimana pun pria paruh baya yang saat ini berdiri dihadapannya adalah Papa kandungnya sendiri. Darah Said mengalir ditubuhnya.

"Assalamu'alaikum, Pah."

"Wa'alaikumussalam. Kok kamu berdiri disini? Nggak langsung masuk aja." Tegur Said seolah rumah sederhana yang ada dihadapannya, rumah orang asing bagi Gibran. Cukup miris saat mendapati putranya sendiri seperti itu.

Gibran hanya mengangguk. Ia membuntuti Said di belakangnya. Said hanya bisa tersenyum karena tidak sanggup menyembunyikan kebahagiaannya. Baru kali ini sejak beberapa tahun lamanya Gibran mendatanginya.

"Kok kamu tiba-tiba kesini? Ada masalah sama Mamamu?" tanya Said saat mereka sudah duduk di ruang tamu. Said melihat koper yang dibawa oleh Gibran.

Kini Gibran menggeleng. Ia paham kenapa Papanya menanyakan hal itu. Pasti ia beranggapan bahwa dirinya kabur dari rumah karena membawa sebuah koper. Gibran mengedarkan pandangannya di rumahnya dulu. Ia mengamati setiap sudut rumah itu dan membandingkan dengan rumah yang ada diingatannya semasa kecil.

"Nggak ada yang berubah yahh." lirih Gibran yang masih terdengar oleh Said. Said tersenyum simpul.

"Semenjak kepergian kalian ninggalin Papa, Papa sama sekali nggak pernah mengubah apapun di rumah ini. Paling catnya aja yg diperbaiki. Karna kalo Papa ubah, kenangannya pun akan menghilang saat menatap tiap sudut dan tiap sisi rumah ini."

Perkataan Papanya mencelos ke dalam hatinya. Rasanya sakit dan perih. Papanya benar. Setiap menatap sudut maupun sisi rumah ini, kenangan itu selalu bermunculan bahkan menari-nari dalam kepala. Meskipun terasa menyakitkan. Tetap saja, Papanya mempertahankan kenangan itu.

Wasiat Aqilah [LENGKAP] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang