Part 38

3.2K 165 4
                                    

Satu jam sebelum Aqilah memasuki ruang operasi, Gibran telah membersihkan tubuhnya. Ia terlihat lebih rapi dari penampilan sebelumnya. Walaupun, di sekitar pipi dan dagunya mulai ditumbuhi rambut yang Aqilah yakini bahwa Gibran tidak pernah mencukurnya setelah tinggal bersama Aqilah. Gibran sudah terbiasa diurus dan bermanja pada Aqilah. Bahkan, mencukur rambut di sekitar wajahnya, itu semua dilakukan Aqilah dengan senang hati.

Aku sangat senang melakukannya. Kapan lagi aku melakukan hal ini pada suamiku sebagai baktiku? Kapan lagi aku memanjakanmu, Bang? Hanya kata itu yang dilontarkan Aqilah pada Gibran, kala pria itu menolaknya.

Saat ini, Aqilah bahkan tidak tega jika ia harus meninggalkan Gibran. Tapi bagaimana dengan hatinya jika Gibran tetap melanjutkan pernikahan itu?! Bagaimana jika Gibran tetap menyakitinya?! Tidak ada jaminan sedikit pun untuknya, jika Gibran tidak akan menyakitinya lagi. Tapi begitulah hakikatnya dalam berumah tangga. Ada saja permasalahan yang datang menggoyahkannya. Tidak ada juga jaminan rumah tangga seseorang akan berjalan mulus.

"Kenapa melamun?" pertanyaan itu keluar dari bibir Gibran. Sontak Aqilah menoleh dan menggelengkan kepalnya pertanda bahwa ia baik-baik saja. Ia hanya memikirkan, kapan orang-orang akan datang? Rasanya canggung jika ia hanya berduaan dengan Gibran yang saat ini hubungan rumah tangganya dalam keadaan tidak baik atau berada diambang kehancuran.

Tak bisa dipungkiri bahwa ia juga takut akan operasi caesar itu, meski ia adalah seorang dokter. Tetap saja, ia hanya melakukan operasi dan tidak pernah menjadi seorang pasien yang butuh operasi.

"Kamu baik-baik saja?" lagi-lagi, Aqilah dikejutkan oleh sebuah pertanyaan yang keluar dari lisan Gibran. Bahkan saat ini, ia tidak menyadari bahwa Gibran sudah berada di sampingnya. Ia duduk dan menggenggam tangan Aqilah seolah menyalurkan semangat. Ketakutan yang dirasakan Aqilah sedikit berkurang.

"Aku baik-baik saja." jawab Aqilah dengan ekspresi datar. Pria itu bisa memakluminya. Sepertinya, ia harus kembali berjuang untuk meluluhkan hati istrinya. Perjuangan yang jauh lebih keras dari sebelumnya.

Posisi Aqilah yang duduk sembari bersandar dan langsung mendapatkan pelukan dari Gibran. Pelukan Gibran terasa erat dan seperti takut akan kehilangan. Entah, perlakuan Gibran semakin membuat hati Aqilah bimbang. Setengah hatinya terasa mati karena rasa sakit kian menggerogotinya dan setengahnya lagi ia ingin membalas pelukan pria itu.

"Maaf.. Maaf.." lirihnya seraya mengecup pundak istrinya. Aqilah hanya bergeming tanpa mengindahkannya dan berusaha menetralkan detak jantungnya.

Detik berikutnya, Aqilah bersuara. "Aku takut, Bang. Maafkan aku. Kalo nanti aku tidak bisa lagi bersamamu, tolong jaga mereka."

Gibran menggeleng. Ketakutannya semakin menjadi-jadi kala mendengar ucapan istrinya yang terdengar lirih. Dadanya sesak. Ia menyesali semua perlakuan buruknya pada istrinya yang membaktikan dirinya.

Gibran melepas pelukannya dan menangkup kedua pipi istrinya. Ia menatap mata Aqilah yang sudah berkaca-kaca dengan matanya yang memerah menahan tangis. "Jangan bicara seperti itu. Aku akan menemanimu di dalam sana."

Pria itu mengecup kening istrinya dengan sangat lama seolah menyalurkan rasa rindunya. Air mata Aqilah kembali merembes keluar dari pertahanan yang ia buat. "Aku mencintaimu, istriku."

Ia bukan lagi mencintai seorang wanita yang bernama Aqilah. Tetapi, ia mencintai wanita yang ada dihadapannya dan ia menyadari bahwa cintanya saat ini hanya untuk istrinya. Tidak peduli siapa identitasnya.

***

Para orang tua hadir untuk menyemangati Aqilah. Mereka berusaha menghibur Aqilah yang akan melakukan operasi caesar dan akan ditemani oleh Gibran. Amirah, Husaini, dan Sekar turut hadir. Begitu pun dengan istri pertama dari Husaini dan saudara-saudara Aqilah, termasuk David.

Wasiat Aqilah [LENGKAP] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang