Part 17

2.2K 162 0
                                    

"Lain kali jangan meninggalkanku sendiri. Aku menginginkan surga dan tentu itu bersamamu. Aku bukanlah Afif yang memiliki ilmu Agama yang sangat dalam. Aku hanyalah Gibran yang dangkal ilmu. Tapi aku ingin berproses denganmu."

Gibran Ghifari Said Asla

💝💝💝

Usai resepsi pernikahan Gibran dan Aqilah, keluarga Gibran langsung pulang ke Jakarta. Setelah sedikit berbasa-basi pada keluarga Aqilah. Sikap Syakilah dan Asla cukup bersahabat di hadapan keluarga Aqilah meskipun Amirah sendiri peka dengan situasi dan sikap hangat yang dibuat-buat oleh mereka.

Aqilah dan Gibran saat ini berada di ruang tamu Aqilah yang berukuran sedang. Jika dibandingkan ukuran ruang tamunya dengan kamar tidur Gibran di Jakarta, kamar tidur Gibran jauh lebih besar dibanding ruang tamu di rumah Aqilah.

Sejak awal mereka memang cukup malu ketika Gibran datang dan ingin melamar putrinya. Tapi ucapan Gibran membuat keluarga Aqilah sedikit tertarik dengan Gibran. Tentu, itu semua tanpa sepengetahuan Aqilah. Said pun mengatakan bahwa Gibran sebenarnya pria penyayang yang diselimuti oleh rasa angkuh dan sikap perfeksionisnya. Terbiasa hidup bermewah-mewahan. Padahal, sebelum Said bercerai dengan Syakilah, hidupnya bisa dikatakan sederhana dengan profesinya sebagai dokter bedah. Tapi karena suatu masalah yang membuat Syakilah tidak tahan dengan kesibukan Said sebagai seorang dokter. Akhirnya, Syakilah menggugat cerai dirinya. Bahkan permasalahan itu tidak diketahui sedikit pun oleh Gibran.

"Bun, apa yang ingin Bunda sampaikan?" Aqilah menatap satu per satu orang-orang yang berada di ruang tamunya seperti sedang mengabsen. Ia cukup bingung dengan kehadiran satu keluarga yang tidak ia kenal. Seorang wanita paruh baya yang lebih tua dari Bundanya dan dua orang pria.

Sedangkan Gibran hanya menjadi pendengar. Apa yang akan disampaikan oleh Amirah sudah diketahui oleh pria yang duduk bersedekap di sebelah kanan Aqilah. Gadis itu memperhatikan anggota keluarganya yang saling menatap satu sama lain seolah memberi isyarat. Aqilah semakin bingung dan curiga. Plus rasa penasaran.

Hasan terlihat menghirup napas dan mengeluarkannya dengan pelan. "Mereka ini.." Ucap Hasan yang kembali terpotong karena ragu dan takut untuk mengatakannya sembari mengarahkan tangannya kearah wanita paruh baya beserta dua pria yang lebih tua dari Aqilah. Mungkin umurnya sekitar 30-an. Amirah yang duduk disebelah kiri Aqilah, hanya bisa menundukkan wajahnya.

"Ya?"

"Mereka ini.. Keluarga kita. Dua pria itu adalah kakakmu," tutur Hasan.

Dahi Aqilah mengerut, alisnya tertaut, ekspresi bingungnya masih saja sama seperti biasanya. "Maksud Abi Hasan? Kakak? Kakak dari mana?"

"Kakak dari Ayahmu," jawab Hasan. Lidahnya masih tertahan untuk menjelaskan semuanya.

"Hah? Jangan bercanda dehh, Abi. Tolong jelaskan pake bahasa yang mudah Aqilah pahami. Ini maksudnya apa?" Kebingungannya semakin menjadi-jadi. Bahkan intonasi suaranya sedikit meningkat. Belum lagi masalah kemarin yang masih ada di pikirannya. Sekarang, tentang sosok Ayah yang telah meninggalkannya. Berbagai pikiran buruk tentang Ayahnya bermunculan membuat emosinya sedikit terpancing.

Gibran ingin angkat bicara tapi didahului oleh salah satu pria yang mengaku Kakaknya Aqilah. "Begini dek Aqilah, Ayah Husaini itu Ayah kami juga. Dia menikahi Bundamu setelah statusnya sudah beristri, yaitu Ibu kami. Jadi–"

"Ohhh, ja-jadi maksud kamu itu Ayah saya poligami? Iya? Dia punya istri kedua dan istri kedua itu Bunda saya? Gitu?" Nada Aqilah meninggi. Entah itu semua benar atau tidak tapi perkataan pria itu sangat mengganggunya. Gibran merangkul pundak Aqilah berusaha untuk menenangkannya. Namun, hasilnya nihil.

Wasiat Aqilah [LENGKAP] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang