Part 27

2.1K 138 6
                                    

"Aku pengen anak kita mendengarkan hal yang baik-baik dari orang tuanya sejak dalamkandungan karena aku tidak ingin mereka tumbuh dengan perkataan kotor darilisan-lisan yang tidak terdidik sepertiku."

Gibran Ghifari Said Asla

***

Hari libur akhirnya tiba, meski profesinya sebagai seorang dokter yang harus tetap stay pada pekerjaannya. Tetap saja, Aqilah butuh hari libur mengingat kondisi perutnya yang makin hari, makin membesar. Bahkan beberapa pakaiannya sudah tidak cocok untuk tubuhnya yang melebar ke samping dan ke depan.

Aqilah menyaksikan acara televisi yang menayangkan kartun di pagi hari usai menyelesaikan tugasnya sebagai seorang istri. Padahal, Gibran sudah melarang istrinya untuk melakukan berbagai pekerjaan. Tapi keras kepala Aqilah serasa mendarah daging dalam dirinya.

Keduanya bersama di ruang keluarga. Hanya mereka berdua. Asla sedang melakukan aktivitasnya di ruang olahraga, Syakilah sedang membersihkan taman bunga miliknya, kedua adik perempuan Gibran, Gina dan Gita berkuliah, dan Fia mengantar putrinya ke sekolah.

Fia semakin hari semakin baik pada Aqilah semenjak teguran halus dari-Nya datang menyapa hatinya. Tiap hari, ia selalu mengingat mendiang suaminya. Keinginan untuk memiliki Gibran sudah pupus, sebab hanya satu yang kini ia miliki. Hanya Qonita yang ia miliki. Setengah dari diri Galih masih bersama dengannya. Ia akan rawat putrinya menjadi gadis yang cerdas dan mandiri. Ketika dewasa nanti, barulah ia akan menyampaikan pada putrinya bahwa Papa kandungnya adalah Galih, putra pertama di keluarga suaminya. Sosok pria yang penyayang dan lembut pada istrinya, namun dengan bodohnya sang istri justru menyia-nyiakannya.

Tawa Aqilah pecah membuat Gibran yang sedang on the way menyelami alam mimpinya, seketika membuka mata. Tubuh Aqilah bergetar karena tawanya. Sehingga, Gibran yang tidur berbantalkan paha Aqilah merasa terusik.

"Maaf sayang, kamu terganggu yahh? Kartunnya lucu banget. Aku nggak bisa nahan tawa." Aqilah menghapus air matanya karena tawanya yang cukup hebat dan mengeluarkan air mata.

"Nggak apa-apa. Yang penting istriku bahagia dan kedua anakku di dalam sini juga sehat. Jadi nggak sabar pengen ketemu sama mereka." Tangan Gibran beralih mengusap perut buncit Aqilah dan menciuminya.

"Istriku jadi semakin cantik dan seksi. Aku jadi gemes pengen meluk terus." lanjutnya.

"Apaan sihh Bang? Aku jadi gemuk kayak gini, dibilang seksi, cantik." kekeh Aqilah disusul dengan gelengan kepala.

"Emang bener kayak gitu sayang."

"Iyaa Bang, Iya. Kalo kamu yang ngomong, pokoknya bikin aku laper."

"Laper atau baper?" goda Gibran.

"Dua-duanya."

Setelah candaan mereka selesai, keduanya masing-masing terdiam. Tiba-tiba, lantunan surah Yusuf menggema di ruang keluarga. Sembari mengelus-elus perut Aqilah, Gibran membacakan surah Yusuf. Aqilah benar-benar terkejut saat menngetahui bahwa sang suami yang membacakannya. Bahkan tanpa Al-Qur'an.

Aqilah tercengang dan air matanya pun merembes keluar karena haru yang kini sulit ia tahan. Ia mengabaikan acara televisi yang membuatnya tertawa karena fokus mendengar lantunan Surah Yusuf yang keluar dari lisan Gibran. Suaminya itu benar-benar penuh kejutan. Gibran menghafalkan surah Yusuf meskipun bacaannya belum terlalu sempurna, tapi cukup membuat jantung Aqilah berdebar, hatinya menghangat. Suara merdu Gibran menebus masuk ke dalam relung jiwanya.

Sejak kapan? Pertanyaan Aqilah yang belum sempat ia lontarkan saat pertama kali mendengar Gibran membacakan surah Yusuf. Bahkan sampai saat ini ia merasa tersihir. Pasalnya, saat sholat tahajjud yang diimami oleh Gibran, pria itu selalu membacakan surah-surah pendek saja yang ada di Juz 30. Tapi biasanya ia juga membacakan surah Al-Mulk, karena cukup mudah untuknya. Itu dalihnya.

Wasiat Aqilah [LENGKAP] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang