Part 35

2.4K 157 3
                                    

Semuanya berkumpul di rumah Said. Disana ada juga Amirah, Hasan, dan Sekar. Sementara Aqilah duduk di sofa tunggal. Ia tidak ingin duduk berdampingan dengan siapa pun. Bahkan tidak ingin bersama Bundanya. Ia sudah ingat semua apa yang telah terjadi. Ia sebenarnya adalah Aila Nazhifah Husaini, bukan Aqilah Nadhifah Husaini yang disayangi Bundanya. Ia adalah Aila, bukan Aqilah yang dicintai oleh suaminya.

Pandangannya berkunang-kunang sejak tadi karena tangisnya yang teramat pecah. Kini, air matanya telah kering. Menangis juga butuh tenaga yang banyak. Butuh air mata yang bersedia untuk dikuras sebagai penawar rasa sakit hatinya. Tapi itu saja belum berhasil.

Suasana masih saja hening. Tiada yang berani mengangkat suara diantara mereka yang ikut andil dalam menghancurkan kehidupan wanita hamil itu. Tatapan Aqilah kosong. Ia tidak lagi peduli dengan hal yang berkaitan dengannya karena pada akhirnya, Gibran hanya mencintai wanita yang kini telah tertimbun tanah. Aqilah tidak peduli lagi dengan namanya. Ia tahu bahwa Gibran akan hidup dalam penyesalan karena menikahi dirinya yang jelas-jelas bukan Aqilah. Hanya wajah dan bola mata Aqilah yang sama dengan wanita yang dicintai suaminya.

Dilain sisi, mata Gibran memerah. Bisa dipastikan bahwa Gibran menangisi kebodohannya yang asal menikah dengan orang yang salah. Bahkan perasaannya kini bercampur aduk. Ia benar-benar frustasi untuk memikirkannya. Terlebih lagi istrinya yang hamil pun merasa tersakiti dengan sikapnya yang brengsek. Tapi, Gibran tidak dapat disalahkan sepenuhnya tentang hal ini.

Afif berdehem. Ia tidak tahan dengan keheningan yang tercipta diantara mereka. "Jadi kita bakal diem-diem aja kayak gini?"

Suasananya tetap sama. Masih saja hening. Mungkin diantara mereka sedang merangkai kata agar penjelasan mereka mudah diterima oleh kedua tokoh utama yang terkena imbas dari rencana rumit mereka.

"Maafkan kami nak. Kami tidak tau ingin berkata atau menjelaskan apa lagi sama kalian. Semuanya adalah salah kami." Akhirnya Said yang memulai untuk berbicara disaat semuanya masih setia dengan mulutnya yang membisu.

"Dan Gibran, kamu jangan membenci istrimu sendiri. Papa bisa lihat kalo kamu menyakiti hatinya. Ingat dia sedang hamil darah dagingmu." Ucap Said dengan bijak.

"Maafkan Bunda, nak." Perlahan Amirah mendekati putrinya yang pandangannya menatap lurus ke depan. Tatapannya kosong. Namun, air matanya sesekali lolos begitu saja dari pertahanan yang ia buat.

Amirah menyentuh tangan Aqilah yang mengepal karena berusaha menahan gejolak yang ada di dadanya. Semuanya telah berakhir untuknya. Rasa sakit, perih, dan rasa bersalahnya menyatu menjadi satu.

Aqilah menggeleng lalu berdiri. "Kenapa, Bun? Kenapa Bunda segitu bencinya dengan Aila? Kenapa Bunda segitu benci denganku yang merupakan putri Bunda juga. Apa karena aku cacat dan penyakitan? Nggak ada satu orang pun di dunia ini yang ingin terlahir dalam keadaan buta dan membawa penyakit." Nada suara Aqilah meninggi terdengar seperti berteriak. Ucapan Aqilah tepat mengenai sasaran. Hati Amirah mencelos. Sebagai seorang Ibu, ia sudah gagal selama ini.

"Aku ini Aila, kan? Kenapa harus dia yang mati, kenapa bukan aku aja?" lirih Aqilah.

"Kamu nggak boleh ngomong gitu, Aqilah." rengek Amirah yang wajahnya dibasahi air mata.

"Karena ini semua keinginannya." Kini Hasan bersuara.

"Keinginannya? Tapi aku tidak menginginkannya. Dia benar-benar egois. Dia merebut semua kebahagiaan dan cinta."

"Aqilah, dengerin Umi. Kakakmu yang ingin kamu menggantikan posisinya. Dia ingin kamu hidup normal dan bahagia. Menjadi seorang yang sukses dan menikah dengan pria yang kamu cintai. Ini wasiatnya." Wanita itu tertawa sinis.

"Kenapa harus aku, Umi? Aku bisa bahagia dengan caraku sendiri meskipun aku buta dan penyakitan bahkan mati pun aku terima. Sekarang, aku jadi menderita karena ulah putri kesayangan Bunda." Lalu tangan Aqilah seperti menujuk mereka semua yang ada di ruangan itu. "Semua orang yang ada disini mencintainya, sementara aku dibenci oleh Ibuku sendiri. Sejak awal, aku memang tidak pernah dicintai. Bahkan oleh suamiku sendiri karena dia tau aku ini bukan Aqilah, karena aku cuma pengganti. Ini yang dia katakan kebahagiaan?"

Wasiat Aqilah [LENGKAP] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang