Part 22

2K 162 0
                                    

"'Jika seorang wanita menangis karena disakiti oleh seorang pria, maka para malaikat akan mengutuk setiap langkah kaki pria tersebut.'– Ali bin Abi Thalib ra."

Aqilah Nadhifah Husaini

***

Menghabiskan waktu selama seminggu di Padang menjadikan hari-hari Aqilah kembali ceria. Berbeda saat berada di Jakarta karena di kediaman Asla pun ia merasa di benci. Bagaimana jadinya seseorang bisa hidup tenang di sebuah tempat yang keberadaannya tidak diharapkan?! Lelah jiwa raga, makan hati, dan sebagainya. Hal lain yang kurang ia sukai berada di Jakarta adalah kemacetan saat ia berangkat kerja.

Saat awal pernikahannya, bagi Aqilah tidak ada hal yang spesial. Usai resepsi, ia ikut dengan suami tinggal di Jakarta. Tiap harinya mengurus rumah sebelum berangkat kerja. Bulan madu pun atau sekedar jalan-jalan saja, mereka tidak bisa menyempatkan diri karena kesibukan masing-masing. Ralat. Ada hal yang spesial dan manis yang sering kali dilakukan Gibran sehingga rasa lelah karena dibenci seketika hilang dan digantikan dengan kesabaran. Seorang Gibran yang awalnya ia kenal angkuh, perfeksionis, dan memiliki banyak wanita karena sifatnya yang penggoda, seketika semuanya menghilang digantikan dengan Gibran yang romantis, manis, penuh kejutan, dan tentu telah dijinakkan olehnya.

Seperti hari ini, mereka berada di Lombok dan bermalam disana selama 3 hari ke depan. Semua perjalananan mereka di luar dugaan Aqilah. Ia pikir dirinya dan suaminya itu hanya ingin mengunjungi Padang karena sebuah pekerjaan atau memeriksa perusahaannya dan mengunjungi keluarga Aqilah. Ternyata semua itu hanyalah dalih untuk mendapatkan izin dari orang tuanya. Beberapa hari sebelum mereka berangkat, Gibran diam-diam menyuruh seseorang untuk mereservasi sebuah hotel terbaik di daerah sana. Bagi Aqilah, ini semua adalah kejutan dari seorang Gibran yang penuh kejutan. Hadiah terbaik yang ia dapatkan dari sang suami setelah hatinya jatuh untuknya.

Jam dinding kamar hotel menunjukkan pukul 18.48 Awalnya ia masih ingin menikmati pemandangan yang disajikan dari hotel itu. Hampir saja ia melupakan kewajibannya untuk menyiapkan segala keperluan sang suami untuk sholat Isya. Sehingga ia bergegas menyediakan segala hal sebelum Gibran keluar dari kamar mandi dan bergantian untuk membersihkan tubuhnya yang belum suci dari hadats besar. Seketika ia ingat kesalahpahaman Gibran tentang kata Tidak Suci. Aqilah pun tersenyum.

"Makasih yahh." Ucap Gibran dengan senyuman manis. Aqilah mengangguk lalu pamit untuk membersihkan tubuhnya agar ia bisa melaksanakan sholat Isya.

"Yaudah, aku ke mesjid dulu. Nggak apa-apa yahh kuncinya aku bawa."

"Iyaa Bang. Nggak apa-apa. Hati-hati yahh."

"Iyaa. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Saat yakin Gibran telah meninggalkan kamar, Aqilah pun bergegas mandi dan memakai pakaian sebelum Gibran kembali. Meskipun mereka sudah menjadi sepasang suami istri, tetap saja Aqilah belum terbiasa jika Gibran melihatnya mengenakan pakaian pendek atau sekedar mengenakan handuk. Gibran hanya sering melihat Aqilah sebatas tanpa kerudung. Lebih dari itu, istrinya tidak pernah menampakkannya di hadapannya.

Usai mengenakan pakaian tertutup, Aqilah memakai mukenah untuk melaksanakan sholat Isya. Perlahan, Gibran masuk saat istrinya masih dalam berkomunikasi dengan Sang Pencipta. Tanpa mengganti pakaiannya, ia duduk di sisi tempat tidur dan melanjutkan dengan membaca Surah Al-Mulk meskipun bacaannya belum sebagus para pria di luar sana yang mendalami Al-Qur'an selama bertahun-tahun. Tetap saja, keinginan Gibran mulai mucul setelah memiliki niat untuk memperistri Aqilah, tentu ia mempelajari Islam tanpa sepengetahuan Aqilah. Minimal ia tahu beberapa adab, diantaranya adab suami kepada istri dan adab istri kepada suami. Yang lainnya, perlahan ia pelajari.

Wasiat Aqilah [LENGKAP] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang