Part 6

2.5K 176 0
                                    

Seharusnya ia menyalahkan mata yang tak pandai menundukkan pandangan. Seharusnya ia menekan nafsu yang hadir dengan mengatasnamakan cinta.

~Aqilah Nadhifah Husaini~

_______

Pondok Pesantren Al-Hikmah, Kota Padang, Pukul 19.00 WIB.

Aqilah merebahkan tubuhnya di kasur yang baginya merupakan tempat ternyaman untuk menumpahkan keluh kesahnya. Setelah melalui kesulitan siang tadi, rasanya makanan yang lezat di matanya pun enggan untuk ia santap. Pikirannya terfokus pada pernikahannya tiga hari yang akan datang. Ia malu jika harus membatalkan pernikahannya dengan Afif. Sedangkan, hatinya pun sudah terlanjur memilih pria itu.

"Yaa Allah, apa yang harus aku lakukan?" lirihnya saat menatap kotak cincin yang berada diatas meja di samping tempat tidurnya.

Tiba-tiba suara ketukan pintu kamar terdengar, membuat fokus Aqilah teralihkan.

"Nak, waktunya makan!" teriak Amirah dari luar.

"Iya, Bunda. Aqilah masih kenyang kok." Ia berjalan kearah sumber suara dan membukakan pintu untuk Amirah.

"Lohh, nak. Matamu kenapa? Kok bengkak kayak gitu?" Aqilah dilemparkan berbagai pertanyaan dari Bundanya saat Amirah melihat kondisi wajah putrinya itu terlihat sembab.

"Nggak kok, Bun. Ini cuma alergi."

"Kamu jangan bohong. Kamu nggak alergi. Kamu nangis, kan? Kenapa, nak?" tanya Amirah yang seketika membuat Aqilah diam membeku. Apa yang harus ingin ia lakukan? Apakah ia harus jujur pada Bundanya?

"Apa.. kamu ketemu sama keluarga Afif tadi?"

Air mata Aqilah menetes tanpa permisi. Air mata yang menegaskan bahwa matanya yang bengkak disebabkan oleh keluarga Afif yang menghina harga dirinya. Hal itu sontak membuat Amirah menarik putrinya ke dalam pelukannya. Tanpa ditanya lagi, matanya pun ikut berkaca-kaca menyaksikan kondisi putrinya yang sejak dulu mendapatkan banyak kesusahan.

"Darimana Bunda tau itu semua?" Pertanyaan lirih Aqilah yang membuat Amirah harus menjawabnya. Padahal ia tidak ingin mengatakan itu semua karena akan menyakiti putrinya. Namun ternyata akan lebih menyakitkan lagi jika ia tidak tahu apa-apa. Dengan berat hati, ia melepaskan pelukannya dan memberikan penjelasan yang dibutuhkan putrinya.

"Sayang, kemarin Pak Charles dan Ibu Fely datang kesini untuk membatalkan acara pernikahan kalian. Bunda menolak karena Bunda gak punya hak. Tapi Ibu Fely tetap keras kepala dan malah nyalahin kamu, nak." Amirah menjeda ucapannya. Ia menghentikan ucapannya bersamaan dengan itu air matanya yang mengalir sempurna.

"Mereka bilang ka-kalau Aqilah pembawa sial, yahh?"

Amirah hanya bisa terdiam. Sakit rasanya mendengar orang lain mengatakan bahwa putri yang ia kandung selama 9 bulan adalah pembawa sial. Padahal tidak ada anak yang membawa kesialan, semua membawa berkah.

"Jangan-jangan, Aqilah emang pembawa sial untuk Mas Afif, Bun," lanjut Aqilah yang mulai membenarkan ucapan keluarga Afif.

"Hust! Istighfar, sayang. Kamu gak boleh ngomong kayak gitu, nak."

"Seandainya Aqilah gak terima lamaran Mas Afif, Mas Afif gak bakal-"

"Udah, sayang. Gak baik berandai-andai. Pengandaian adalah sebuah bentuk protes kita kepada takdir Allah. Banyak Istighfar, nak." Nasihat Amirah sembari mengusap-usap puncak kepala Aqilah.

"Bunda," lirih Aqilah semakin mempererat pelukannya pada Amirah. Tangisnya pun semakin pecah.

"Anak Bunda kuat, kan?"

Wasiat Aqilah [LENGKAP] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang