________
Langkah kaki Aqilah berjalan menuju ruangan yang sebelumnya di tempati oleh pria yang hampir menjadi suaminya. Tapi seperti yang ia katakan siang tadi bahwa ia memilih mundur. Ia tidak tahu apakah pilihannya akan membuat Afif bahagia suatu hari nanti atau malah sebaliknya. Mundur adalah pilihan yang paling tepat dengan situasi dan kondisi yang ia alami saat ini.
Aqilah menyentuh tempat Afif terbaring selama beberapa hari atau lebih tepatnya selama kurang lebih seminggu. Ia duduk di tempatnya saat ia menjenguk Afif dan menunggunya beberapa menit di ruangan itu dengan harapan Afif akan membuka kedua matanya. Namun saat ini tidak ada siapa-siapa yang menempati tempat itu.
Luka yang kemarin masih bersarang di hatinya. Tidak mudah rasanya jika ia harus melupakan kejadian yang telah lalu. Air matanya kembali menetes membasahi pipinya dan dengan cepat ia menghapusnya. Matanya yang bengkak dan sembab menjadi pertanyaan oleh Nina sahabatnya. Tapi Aqilah bukanlah tipe perempuan yang mudah menceritakan masalah yang ia alami.
Tanpa Aqilah sadari, beberapa hari ini ada seseorang yang senantiasa memperhatikannya. Ia mengetahui segala hal yang dialami Aqilah tanpa sepengetahuannya. Bahkan saat ini, ia berada di luar ruangan dimana Aqilah berada. Ia seorang pria yang mencintai seorang gadis selama belasan tahun. Yah, ia adalah Gibran. Ia merasa dibodohi oleh perasaannya. Bayangkan, seorang CEO GG Asla yang terhormat sedang memata-matai seorang gadis.
Kekesalannya memuncak saat pesannya tidak mendapat balasan oleh Aqilah. Malah, ia menyaksikan hal yang tidak ingin ia lihat seperti saat ini. Padahal, pria itu ingin menyampaikan sesuatu yang menurut Gibran sangatlah penting untuk diketahui oleh Aqilah.
"Pe-permisi Pak, ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang suster yang tanpa sengaja melihat Gibran mengamati Aqilah. Semua staf di rumah sakit itu tentu mengenal Aqilah yang merupakan dokter handal di bagian UGD.
Gibran menoleh lalu berdehem untuk mengembalikan wibawanya yang sempat hilang karena ketangkap basah sudah memata-matai gadis yang tak berperasaan di dalam sana. Namun kehadiran suster tersebut membuatnya memikirkan sebuah ide yang siap ia luncurkan.
"Ahh, begini Sus. Anda masuk ke dalam sana dan katakan bahwa ada keluarga pasien yang ingin bertemu dengannya di kantin rumah sakit karena ingin membahas penyakit putrinya. Tapi kalau dia bertanya kenapa di kantin rumah sakit, katakan saja kalau keluarga pasien hanya seorang diri. Lebih baik jika bertemu di ruangan terbuka dan ramai pengunjung."
"Apakah Anda tidak berbohong?" tanya Suster tersebut yang terlihat ragu.
"Apakah saya terlihat seperti seorang pembohong? Kamu tahu kan siapa saya?"
Suster itu meneguk ludahnya dengan kasar saat melihat wajah Gibran dengan seringai menakutkan. Namun tidak menghilangkan ketampanan wajahnya. "Ba-baiklah Pak. Saya akan melakukannya."
Gibran pun tersenyum puas dengan jawaban yang diberikan oleh Suster tersebut. Padahal ia tahu bahwa sang suster merasa tertekan dengan tatapan dan perintah Gibran. Tapi itu tidak penting baginya. Yang terpenting adalah bertemu dengan Aqilah.
Setelah suster itu menghampiri Aqilah. Ia pun sedikit menjauh dari sana dan menunggu si suster memberikan jawaban yang diberikan oleh Aqilah.
"Heii, Sus.. Suster," panggil Gibran dengan suara yang sedikit dipelankan ketika retinanya menangkap bayangan suster suruhannya.
Si suster pun berjalan mendekati Gibran. "Dokter Aqilah bilang kalo si keluarga pasien bisa menunggunya di kursi paling pojok di sudut kanan kantin. Disana tempat yang biasa ia tempati di kantin."
"Baiklah. Terima kasih." Gibran akhirnya berjalan menuju kantin. Ia harus sampai disana lebih dahulu sebelum Aqilah. Gibran menghubungi Chandra untuk menemaninya. Sebab, Aqilah tidak akan menemuinya jika hanya berdua saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wasiat Aqilah [LENGKAP]
Romance[Spiritual-Romance] Bertahun-tahun lamanya Gibran Ghifari Said Asla sulit melupakan Aqilah-gadis yang ia temui 12 tahun yang lalu. Namun, ia dipertemukan kembali dengan gadis yang sama dan berstatus sebagai tunangan dari sosok pria sholeh, bernama A...