Part 28

2K 138 1
                                    

Aku minta maaf yahh, nggak nepatin janji buat update tiap hari dan baru update lagi sekarang. Soalnya, banyak kesibukan pribadi dan salah satunya aku kejar deadline novel ini biar updatenya bisa cepet. Maaf yahh, Insyaa Allah akan segera aku tamatin.

Happy Reading

***

"Nak, Bunda bahagia sekaligus bangga padamu. Kamu hadir di perut Bunda dari benih seorang Ayah seperti Ayah Gibran yang berusaha melakukan apa saja demi yang dicintanya."

Aqilah Nadhifah Husaini

***

            Dalam sehari bisa dikatakan si Ibu hamil tak henti-hentinya mengunyah makanan ringan atau pun makanan berat. Ia justru tidak mengindahkan berat badannya yang terbilang naik beberapa kilo. Pipinya semakin mengembang seperti roti yang siap dipanggang.

Semua kaum hawa di kediaman Asla tertegun dengan nafsu makan Aqilah. Katakan saja bahwa mereka iri dengan wanita hamil yang tidak memperdulikan dengan berat badannya, karena kebanyakan wanita saat hamil pun tetap ingin terlihat ideal. Sementara kaum adam yang hanya terdiri dari Asla dan Gibran hanya bisa terkekeh. Bahkan sebagai seorang suami pun ia merasa kenyang melihat istrinya yang tiap hari makan dengan lahap.

"Hei.. seharusnya kamu hati-hati dengan tubuhmu itu. Jangan sampai suamimu yang matanya jelalatan malah berpaling ke wanita lain." celetuk Fia dengan nada ketus. Syakilah menatap Fia seolah memberi peringatan untuk menjaga ucapannya agar tidak menambah beban pikiran menantunya yang sedang hamil.

Sementara itu, Aqilah hanya tersenyum. Perkataan Fia yang diselimuti nada ketus justru membuat Aqilah senang. Perkataan Fia menandakan sebagai bentuk kekhawatirannya pada dirinya. Dalam keadaan hamil besar dan bentuk tubuh menyerupai bola yang siap menggelinding ini, rawan suami mencari wanita lain di luar sana sebagai hiburan. Ia paham bahwa Fia masih gengsi untuk menampakkan rasa pedulinya seperti Syakilah.

"Dasar yahh, meskipun aku pernah punya banyak wanita, gini-gini pas punya istri aku juga udah sadar diri. Aku sadar udah punya tanggung jawab. Lagian bukan aku yang gatel deketin wanita-wanita itu, malah sebaliknya. Mereka yang nempel kayak permen karet." Balas Gibran seperti menyinggung Fia hingga pria itu dihadiahi cubitan di pahanya oleh sang istri sebagai peringatan bahwa seorang pria tetap harus menjaga perasaan wanita. Siapa pun itu, karena ia lahir dari rahim seorang wanita, bukan dari sesamanya.

Pria itu hanya bisa meringis kala mendapatkan cubitan yang terasa perih. Lain hal dengan Fia seperti tidak peduli dengan yang dikatakan Gibran. Mau disinggung seperti apa pun, ia tidak akan membalasnya. Ia juga sadar tingkah bodohnya dulu yang mengejar si putra kedua Asla yang sulit ditaklukkan dengan menyandang status istri dari putra sulung Asla. Jadi marah pun tidak ada gunanya.

"Maaf sayang. Nggak bakal diulangi lagi." bisik Gibran.

"Kok minta maafnya sama aku? Minta maaf sama Mbak Fia."

Dari raut wajah Gibran seperti enggan untuk meminta maaf. Tapi ia tidak ingin istrinya malah kecewa, ngambek, dan nangis hanya karena masalah sepele. Terdengar aneh jika sang istri menangis karena sang suami enggan meminta maaf pada wanita lain. Tidak lucu sama sekali bagi Gibran.

"Okee.. Okee.. Demi istriku." Gumam Gibran dan Aqilah yang tidak sengaja mendengar gumaman Gibran sontak menatap suaminya dengan mata berbinar-binar.

Gibran berdehem.

"Fiaa, Maaf." Setelah mengucapkannya, apapun yang terjadi, apapun pendapat Mama, Papa, Adik-adik, serta iparnya, ia tidak peduli lagi. Yang terpenting ia sudah mengucapkannya dengan sangat baik dan terbilang tulus dari hati.

Wasiat Aqilah [LENGKAP] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang