"Aku begitu senang berada di atas kapal ini," ujar Venus sembari memejamkan matanya. Kegiatan itu lantas di ikuti ke-4 wanita berwajah bidadari bumi. Saat ini mereka tengah berada di samping kapal. Menikmati matahari yang akan terbit dari ufuk timur.
Catherine Pov
Benar kata Venus. Suasana pagi hari memang bagus jika memandangnya dari depan kapal. Tetapi sedikit tidak nyaman, jika hanya melihat-lihat dari arah sini. Karena hanya bisa memandang dari satu sisi.
"Kau mau kemana, Cath?" Aku menoleh ke arah Irene. Bisa juga aku lihat beberapa temanku yang lain juga ikut menoleh ke arah kami.
"Aku hanya ingin berjalan-jalan saja, Irene," jawabku sambil tersenyum. "Apa kalian ingin ikut?"
"Tidak. Kau saja, Cath." Sepertinya jawaban Stefany sudah menjadi perwakilan, bahwa mereka tidak ingin ikut menjelajahi kapal ini.
"Baiklah, jika memang begitu." Aku meneliti dress yang aku gunakan, lalu menatap mereka sekali lagi. "Jika begitu, aku pergi dulu!"
Sepanjang menjalani dek kapal ini, aku begitu takjub dengan aktivitas orang-orang di pagi hari ini. Ada sekumpulan anak-anak yang sedang bermain bola, ada juga yang sedang bersenda gurau. Entah itu sesama keluarga ataupun dengan teman mereka.
Ada juga para pemusik yang kata Edward memang sengaja di sewa untuk menghibur para undangan. Mereka berdiri di dekat Public Area atau di kenal dengan tempat para penumpang untuk menghibur. Lagu yang di mainkan band musik itu adalah lagu-lagu klasik. Namun terkadang lagu pop juga di mainkan.
Aku menikmati lagu Shallow milik Bradley Cooper feat Lady Gaga yang di mainkan dengan aransemen musik klasik. Aku memutuskan untuk berhenti di depan kapal. Berdiri sambil tersenyum sembari tangan memegang pagar besi itu.
"Pagi yang indah, di sambut senyuman yang indah pula." Aku yang tadi memejamkan mata langsung terbuka dan melirik ke kiri. Di sampingku sudah berdiri seorang pria tampan yang semalam juga pernah menggodaku.
"Selamat pagi princess!" Tolong katakan pada pria itu untuk tidak merayu. Aku merasakan jika sekarang pipiku memanas.
"Ternyata panas matahari pagi mampu membuat wajah seseorang memerah ya. Ini sudah pantas untuk di teliti."
Aku yang kesal langsung memberi tatapan tajam. Namun sialnya pria itu membalasnya dengan senyum lebar yang semakin membuatku merona. Sialan!
"Jangan menatapku dengan pandangan seperti itu! Kau tahu? Tatapan itu malah membuat jantungku tertusuk oleh panah cinta milikmu secara tidak langsung." Tanganku secara reflek memukul lengannya. Bukannya merasa sakit, pria itu justru terkekeh. Tapi malah membuatku ikut tersenyum.
"Nah! Jika tersenyum seperti itu, udara dingin laut Karibia justru terasa hangat jadinya."
"Bisa tidak kau itu tidak menggodaku?" pintaku. Tetapi malah pria itu hanya menggeleng.
"Tidak bisa dan aku juga tidak mengerti bagaimana cara menghentikannya. Kata-kata itu melintas begitu saja dari otak kecilku."
Bukannya kesal, aku malah tertawa mendengar jawaban konyol itu. Apalagi wajah polos pria itu. Rasanya menggemaskan sekali. Kembali aku memukul lengannya dan dia tetap membalas dengan kekehan. Tampan dan lucu secara bersamaan.
"Ini pertemuan kita yang kedua, bukan? Apa boleh aku menyebutnya takdir?"
Aku langsung menatapnya. Kenapa dia berujar seperti itu? Jika sebelum Edward melamarku, mungkin aku akan bahagia. Tapi sekarang aku akan menjadi tunangan seorang Edward Louis.
"Kenapa kau malah berkata seperti itu?"
"Entahlah. Aku juga tidak mengerti." Jawaban pria itu entah mengapa malah membuatku sedikit tidak terima. Ketika aku merasa tidak ada percakapan lagi, kembali aku alihkan pandanganku menatap ke arah depan.
"Sedari tadi kita bicara, aku belum tahu namamu. Bolehkah sekarang kita berkenalan?" Bukannya aku tidak mau. Hanya saja aneh. Apa pria ini tidak mengenalku?
Bukannya setiap orang yang masuk ke dalam kapal pesiar ini akan mengetahui aku adalah seorang calon tunangan Edward? Tetapi mengapa pria ini tidak tahu?
"Kau tidak mengenaliku?" tanyaku pelan. Aku melirik pria itu yang langsung tertawa. Memangnya ada yang lucu, pikirku kesal.
"Kau ini aneh, Nona. Tentu saja aku tidak mengenalmu. Bukannya kita baru bertemu 2 kali? Itupun pertemuan pertama kita juga tidak saling berkenalan."
Benar juga ucapannya. Aku menghela nafas lalu menatapnya yang juga menatap diriku lagi. Jika boleh berkata jujur, tatapan pria ini malah lebih hangat dan damai di bandingkan tatapan milik Edward. Aku suka bola mata berwarna hitam itu. Khas Asia sekali. Namun jika dari perawakannya, pria ini berasal dari Amerika.
"Hei, Nona cantik!" Aku tersadar saat telingaku mendengar sebuah jentikan jari.
"Hah? A-apa tadi kau bilang?" Aku sedikit meruntuki sikap gugupku yang terbit saat bersama pria ini.
"Aku bahkan belum mengatakan apapun, Nona." Tubuhku sedikit mundur saat wajah tampan itu maju untuk menelitiku.
"Kau sedang ada masalah? Sedari tadi aku hanya melihat kau terus melamun," ujarnya yang membuatku berdehem menutupi kegugupanku.
"Aku tidak punya masalah. Jadi, tolong jauhkan wajahmu dariku!"
Sial sekali! Kenapa orang ini begitu tampan ketika tertawa? Membuatku semakin gugup dan panas saja. Dengan memberanikan diri, jari telunjukku menyentuh dahi lebar itu, mendorong pelan wajahnya agar memberi jarak dariku.
"Jangan tertawa! Tidak ada yang lucu," sentakku kesal.
"Tentu saja ada yang lucu dan itu adalah dirimu," jawabnya tanpa melirikku. Secantik ini di cuekin?
Astaga Catherine! Bukannya tadi kau sendiri yang meminta agar pria itu tidak melihatmu dengan jarak dekat. Tapi kenapa sekarang kau marah saat pria itu berucap, tapi tidak menatapmu?
"Aku? Mak-maksudmu aku ini lucu? Begitu?"
"Iya. Kau itu sangat lucu dan menggemaskan." Mataku melotot atas apa yang pria itu lakukan. Aku berusaha mengerjap-mengerjapkan indra penglihatanku untuk memastikan, apakah aku tengah bermimpi atau tidak. Tetapi sialnya, itu semua nyata.
"Namaku Marcus Choi dan aku hanya seorang pekerja buruh, Cantik. Salam kenal!"
Aku melihat pria itu berlari kecil meninggalkanku sambil mengerlingkan matanya. Di satu sisi aku marah. Namun di sisi lain aku menyukainya. Ya ampun Catherine! Kau sudah gila!
Aku memukul kepalaku saat perbuatan pria itu yang mengecup pipiku kembali terngiang. Edward saja yang merupakan calon tunanganku belum berani melakukan hal itu. Ini malah pria yang tadi memperkenalkan dirinya dengan nama Marcus Choi begitu berani melakukannya.
Marcus Choi! Hmm... namanya tampan, sesuai dengan wajahnya. Tampan khas blasteran Amerika-Korea memang begitu ketara. Begitu tampan dan menawan.
Seperti idola yang aku sukai bersama ke-4 temanku. Jika aku, Venus dan Stefany menyukai Super Junior. Lain halnya dengan Irene yang menyukai EXO. Jika Camilla? Wanita itu menyukai para aktor tampan dan hal itu malah membuat kekasih Camilla, Shawn begitu cemburu. Padahal temannya itu hanya menganggumi saja. Dasar Shawn memang memiliki sifat kekanak-kanakan!
Aku memegang pipi kiriku. Memegang tepat pada area yang dikecup. Merasakan kehangatan yang masih tertinggal di sana. Aku langsung menggeleng sambil menutup wajahku saat jantung berdebar dengan tidak tahu dirinya.
"Tidak, Rose Catherine Houston. Ingat! Kau itu akan bertunangan. Jadi jangan terpesona dengan pria itu," ujarku bermonolog sendiri.
Aku tidak peduli jika ada orang yang mengganggapku gila. Yang terpenting aku harus berusaha melupakan kejadian itu. Meskipun aku tidak bermaksud menghilangkannya dalam sekejap.
Dasar Catherine bodoh!
KAMU SEDANG MEMBACA
Destiny Marco in Love Sea ☑️
RomanceKeluarga Houston menerima perjodohan putri tunggalnya dengan seorang politikus muda bernama Edward Louis. Catherine yang memang menyayangi kedua orang tuanya menyetujui hal itu. Untuk merayakannya, keluarga Louis mengadakan pesta di atas kapal mewa...