Rose Hall Mall adalah salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Jamaika. Di sini banyak menjual berbagai pernak-pernik buatan masyarakat di negara itu yang bisa di beli para wisatawan. Dan kebanyakan wisatawan itu berasal dari kapal pesiar yang tengah singgah di Jamaika.
"Aku rasa ini cocok untuk putriku," ujar Rose penuh dengan semangat saat menunjuk sebuah cincin permata indah dari etalase.
Violet mengangguk. "Iya. Ini memang cocok sekali untuk calon menantuku. Kita ambil yang ini saja," ungkapnya. Lalu meminta karyawan di toko perhiasan itu untuk membungkus cincin tersebut dan menyerahkan kartu kreditnya.
"Apa ada lagi yang harus di beli, Rose?"
"Aku rasa tidak ada lagi. Hanya cincin ini saja yang belum ada. Selebihnya sudah di siapkan," jawabnya. Violet mengangguk dan menerima sebuah paperbag yang berisi pesanan cincin dari karyawan toko perhiasan tersebut.
"Kita pergi sekarang? Atau ada lagi yang kau ingin beli di sini? Hadiah misalnya."
Rose menggeleng. "Tidak. Akan ada waktunya aku kembali lagi kemari, Violet. Sebaiknya kita kembali."
Kedua wanita paruh baya itu segera meninggalkan toko perhiasan. Mereka terlihat bahagia satu sama lain. Membuat para suami yang menunggu di depan mall hanya bisa menggeleng.
"Memang para wanita, jika sudah di pertemukan dengan hal berbau barang-barang branded langsung cemerlang matanya," keluh Richard saat melihat ekspresi istrinya, Violet yang menunjuk-nunjuk entah apa. Intinya Richard tidak tahu dan tidak mau tahu apa itu.
William terkekeh. "Untungnya Rose tidak seperti itu, Richard. Rose hanya membeli barang yang dia butuhkan saja. Dan aku bahagia jika sifat putriku juga tidak gila belanja. Jika iya, bisa bangkrut Edward nantinya."
Mereka tertawa bersama saat memikirkan hal itu. "Andaikan pun sifat menantuku seperti itu, aku yakin pasti Edward tidak akan keberatan. Jika bisa, apapun keinginan Catherine pasti akan di penuhinya. Secara putraku sudah terlihat sangat menggilai putrimu itu."
Kepala keluarga Houston itu hanya bisa tersenyum. "Aku hanya berharap putriku bisa bahagia dalam pernikahannya."
Richard menepuk bahu William. "Percayalah pada putraku, Will. Edward pasti akan melakukan itu."
***
Di dalam kamar Catherine, ke-4 gadis itu saling berdebat satu sama lain dalam hal menentukan pakaian yang bagus untuk di kenakan Catherine.
"Kau bisa menggunakan ini, Cath!" ujar Venus menunjukkan cocktail dress merah maroon di tangannya.
"Tidak. Catherine akan cocok mengenakan ini." Stefany mencocokkan maxi dress berwarna merah darah di tubuh Catherine.
"Aku malah lebih suka jika Catherine memakai mini dress seperti yang kami kenakan ini." Serempak mereka melirik ke arah Irene dan Camilla yang berpose seksi.
"Bagaimana? Pasti cocok untuk Catherine. Aku dan Irene sudah menyiapkan ini untuk di kenakannya," ucap Camilla menunjukkan dress mini berwarna keemasan. Memang indah. Namun Catherine tidak akan pernah menyukai pakaian kurang bahan seperti itu.
"Tidak-tidak! Aku tidak akan memakai itu."
Catherine langsung menolak dengan tegas. Dia hanya tidak mau menjadi pusat perhatian orang-orang saat pesta pertunangannya nanti. Terutama menjadi pusat perhatian pria itu yang Catherine yakin akan ikut menyaksikan dirinya bertunangan. Di saat seperti ini, dirinya masih sempat memikirkan pria itu.
"Kenapa, Cath? Kau itu harus menjadi tuan putri malam ini. Apalagi ini untuk pertunanganmu. Setidaknya kau harus menunjukkan kecantikan dan keseksianmu di depan Edward." Irene memberi pendapatnya. Catherine terdiam saat mendengar ucapan temannya itu barusan.
Venus menghela nafasnya. "Biarkan saja dia memilih pakaian yang ingin dia kenakan nanti malam. Sebaiknya kita keluar dari sini," ajaknya merangkul bahu Stefany setelah mengangguk pelan pada sepupunya itu. Irene dan Camilla pun mengikuti dari belakang. Venus sangat paham jika Catherine tengah memiliki banyak pikiran.
Catherine memilih mengunci pintu kamar dan berjalan kembali menuju kaca riasnya dan duduk di sana. Gadis itu merasa pikirannya tengah terbagi entah kemana.
Matanya melirik ke arah ranjang, di mana di sana terdapat dress yang tadi di pilihkan para temannya itu dan ada beberapa lagi yang lain. Semuanya sangat indah untuk di kenakannya. Tetapi.....
Ah, sudahlah! Catherine hanya menyesali keputusannya yang terlalu cepat menerima pertunangan ini. Benar kata Venus. Harusnya dia memikirkannya terlebih dahulu supaya tidak menyesal.
Catherine mengernyit saat menatap pintu kamarnya yang di ketuk dari luar. Gadis itu langsung berpikir jika itu adalah sang ibu. Kaki indah Catherine melangkah menuju pintu dan langsung membukanya.
Namun yang ada, mulutnya di bekap saat dirinya ingin berteriak saat tahu siapa yang mengetuk pintunya. Orang itu mendorongnya untuk segera memasuki kamar miliknya dan langsung menutup pintu dan menguncinya.
Catherine memberontak agar orang itu melepaskan bekapan tangannya. Namun yang ada, sang pemilik tangan malah menyeringai mesum. Alisnya juga naik turun menggoda gadis itu.
Karena udah terlanjur kesal, Catherine langsung menginjak kaki orang itu dengan sekuat tenaga saat melihat adanya peluang dan rasa ingin berteriak harus di urungkan saat tahu orang itu ada di mana.
"Apa seperti itu sikapmu terhadap calon suamimu ini, Rose Catherine Houston?" Gadis itu tersenyum sinis saat mendengar kalimat itu.
"Apa? Calon suami? Jangan bermimpi, Tuan Marcus!"
Orang yang ternyata memang Roger Marcus Gilbert alias Marcus Choi hanya terkekeh. "Ya... tidak masalah jika kau tidak menganggapku seperti itu. Tapi bagiku, kau itu akan tetap menjadi calon ibu dari anak-anakku kelak," ujarnya santai seraya berjalan menuju ranjang gadis itu.
Tanpa Marcus sadari, wajah Catherine merona mendengarnya. Gadis itu menggeleng sambil berusaha menahan senyum yang ingin dia tampilkan. Gadis itu ingin memarahi Marcus yang sesuka hatinya masuk ke kamar seorang gadis, andai mata pria itu tengah memperhatikan beberapa dress yang terletak di sana.
"Apa kau sedang bingung memilih pakaian untuk kau kenakan di acara pertunanganmu nanti?"
Catherine mendengus. "Itu bukan urusanmu!" Catherine berujar seraya mengikuti jejak Marcus untuk duduk di atas ranjangnya.
"Ketus dan galak. Hmm! Sangat cocok sebagai istri idaman di ranjang." Marcus terkekeh saat merasakan bahunya di pukul gadis itu.
"Jaga ucapanmu, Tuan Marcus Choi! Katakan kalimat bualanmu itu pada calon istrimu nanti."
"Aku sudah mengatakannya kepada calon istriku." Gadis mengernyit aneh. Sejak kapan? Bukannya sejak tadi dia di sini? Dasar pria gila! Serapah Catherine dalam hati.
"Kenapa diam?"
"Memangnya aku harus mengatakan apa lagi?"
"Seharusnya kau itu bertanya, siapakah calon istriku itu. Ini malah diam," ucapnya cemberut.
Catherine mengendikkan bahu. Baginya, masa bodoh ucapan pria itu. Tapi yang membuatnya aneh, kenapa dia malah lebih nyaman berbincang dengan Marcus? Namun berbeda saat bersama Edward. Seperti ada yang menganjal.
Terlebih lagi, kenapa dia masih membiarkan Marcus berada di kamarnya? Sedangkan Edward, ketika berada di tempat privasinya ini, Catherine berusaha keras membuat agar pria itu segera keluar dari kamarnya.
"Hei, calon istri Edward Louis!"
Gadis itu langsung menoleh saat mendengar panggilan dari Marcus. Tanpa sengaja, mata mereka bertemu dan dari tempatnya duduk, Catherine baru sadar jika mata hitam itu kelihatan sendu.
Ada apa dengan pria ini, batinnya. Apa dia sedang ada masalah? Tapi masalah apa? Seketika Catherine jadi ingin mengetahui pikiran pria itu. Mengetahui masalah apa yang saat ini di rasakan pria tampan di hadapannya ini.
Marcus sangat menyukai mata indah gadis ini. Bisakah jika posisi Edward dia saja yang menggantikannya? Seketika Marcus ingin egois membawa lari gadis ini, andai mereka sedang tidak berlayar di laut.
"Catherine!"
"Ya?"
"Tidak bisakah kau membatalkan pertunanganmu ini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Destiny Marco in Love Sea ☑️
RomanceKeluarga Houston menerima perjodohan putri tunggalnya dengan seorang politikus muda bernama Edward Louis. Catherine yang memang menyayangi kedua orang tuanya menyetujui hal itu. Untuk merayakannya, keluarga Louis mengadakan pesta di atas kapal mewa...