15) Sebuah Tantangan

42 23 0
                                    

Setelah sekian detik berpandangan. Riani tersadar dari tatap tatapan itu. Riani langsung melepas tangannya dari tangan Akro dan mundur sedikit dari Akro.

"Maaf," kata Riani gugup.

"Kenapa kamu minta maaf? Emangnya apa salah kamu? " ucap Akro masih tenang.

"Nggak seharusnya aku menatap kamu seperti tadi, nggak pantas," Riani kembali merendah.

"Aku nggak suka kamu terlalu merendah seperti itu padaku,"

"Tapi, pada dasarnya emang seperti itu, aku cuma pembantu disini dan kamu adalah tuanku,"

"Lalu kenapa memangnya? Itu cuma pekerjaan kamu, bukan kepribadian, pada dasarnya kita ini sama-sama manusia kan? "

"Sudahlah, lebih baik tuan muda menunggu saja didepan, biar aku yang menyelesaikan semua ini,"

"Panggil aku Akro! "

"Tapi, inikan dirumah,"

"Sekarang tidak ada lagi peraturan itu, dirumah atau dimanapun kamu harus panggil aku Akro!"

"Nanti tuan sama nyonya marah,"

"Aku yang urus nanti,"

"Sudahlah, aku cuma pembantu, aku ngga,,,,, "

"Kamu orang yang istimewa bagi aku," Akro langsung memotong perkataan Riani.

Riani terpaku diam mendengar itu. Dia tak menyangka kalau Akro menganggapnya istimewa. Tiba-tiba ia sadar siapa dirinya.

"Jangan becanda, aku cuma,,,,,, "

"Kamu cuma orang yang membuat aku merasa hidup disaat semua orang seakan tidak peduli padaku termasuk orang tuaku sendiri," lagi-lagi Akro memotong perkataan Riani.

Riani terdiam lagi. Perasaannya bercampur aduk. Entah apa lagi yang harus ia katakan. Ia sungguh bingung.

"Riani aku mau kamu,,,,,, "

"Cukup, aku nggak mau dengar," Riani langsung memotong perkataan Akro, karena ia tau kemana arah pembicaraan ini.

"Riani biarkan aku,,,,,, "

"Nggak, kita akan tetap seperti ini,"

Akro terperangah. Riani benar-benar tak memberi kesempatannya berbicara.

"Cukup tuan muda, lebih baik muda tunggu didepan biar aku yang memasak," kata Riani.

Akro tak ada pilihan lain. Dengan gontai ia berjalan menuju kedepan. Meninggalkan Riani yang kini meneteskan butiran bening dari matanya.

***

Taman yang indah dan cukup luas. Di taman itu terdapat banyak pepohonan dan bunga yang indah. Dibeberapa titik terdapat wahana permainan untuk anak kecil.

Disebuah bangku, Azdi terduduk sendiri. Dia tidak menggambar, dia cuma diam. Pikirannya kacau balau. Sesekali dia menggaruk-garuk kepalanya.

"Ini tidak adil," gumamnya.

Azdi benar-benar kehilangan semangatnya dan kecewa berat. Setelah bosan cuma duduk Azdi berdiri dan memutuskan untuk pergi berjalan-jalan.

Azdi berjalan mengelilingi taman itu. Sesekali ia tertawa kecil saat melihat aksi-aksi anak kecil yang bermain dengan riang gembiranya. Tanpa beban seperti dirinya dulu saat masih kecil.

Azdi terus menyusuri taman itu. Sembari itu otaknya terus berputar untuk memikirkan cara membuktikan pada orang tuanya kalau hobinya itu juga akan menghasilkan masa depan yang cemerlang.

Drawing ArtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang