HAPPY 36

65.8K 5.4K 1.2K
                                    

Selamat membaca manteman🤗

Tidak terasa ya, usia kehamilanku sekarang sudah menginjak usia empat bulan tiga belas hari. Perutku sudah semakin terlihat jelas. Dan keadaan bayiku, baik-baik saja. Hanya saja, kata Dr. Nani, aku harus lebih menjaga kesehatan dan jangan terlalu kecapekan.

Satu bulan sejak kepergian kakek, nenek memutuskan untuk tetap tinggal di Subang. Aku menawarkan untuk tinggal di rumah, namun ia menolak. Rumah kakek dua minggu yang lalu sudah terjual. Dan pembelinya adalah Alvaro yang tidak lain adalah suamiku.

Awalnya aku tidak setuju ketika nenek memutuskan menjual rumah. Di sana adalah tempat yang penuh dengan cerita. Dan aku tidak mau, rumah itu tidak bisa kukunjungi lagi. Namun, saat malam tiba, Alvaro mengatakan bahwa ia akan membelinya.

"Buat apa kamu beli?"

"Ya nggak tahu."

"Nggak jelas."

"Nanti juga ada manfaatnya," jawabnya begitu.

Pagi ini aku bergegas menghampiri Alvaro di balkon yang tengah membaca laporan data keuangan. Dua minggu yang lalu, sehabis mampir ke rumah nenek—lebih tepatnya sekarang rumah Alvaro, aku mampir ke rumah orang tua Alvaro. Satu malam menginap di sana. Papah meminta Alvaro untuk segera membuka cabang ke tiga yang kemarin gagal. Namun, aku memberi pesan untuk tidak terlalu buru-buru. Mungkin kegagalan kemarin memiliki maksud agar lebih teliti dalam membangun projek.

"Nanti gue mau kumpul di rumah Sara."

"Kapan?" tanyaku.

"Jam dua."

Oh iya, seminggu yang lalu, teman-teman Alvaro datang dan kumpul di rumah termasuk Amanda. Tidak hanya empat orang, ada teman-temannya yang sebelumnya belum pernah kulihat. Lumayan ramai. Hari itu sedang ada Calvin. Aku kesal sekali ketika tahu malam itu mereka semua pesta bermabuk-mabukan. Dan menyebalkannya, Alvaro ikutan.

Aku mengintip dari tirai jendela kiri untuk melihat ke arah balkon, memastikan Amanda tidak macam-macam dengannya. Puntung rokok juga botol beling kosong menghampar tidak jelas. Dan aku hanya bisa diam duduk bersama Calvin di dalam kamar tamu dengan perasaan berkecamuk. Aku iseng, akhirnya mengajari Calvin matematika.

Pukul dua malam, mereka baru pulang. Entah, bisa atau tidak menyetir mobil. Cara jalan mereka saja melayang. Dan aku duduk di samping Alvaro yang tengah menutup matanya. Dia mabuk berat. Rasanya ingin sekali aku teriak. Bisa-bisanya pergi meninggalkan ruangan kapal pecah seperti ini.

Aku menarik tangannya, meletakkannya di bahu. Kemudian susah payah menyeretnya masuk ke dalam kamar. Sesekali aku ikut terhuyung menopang tubuh beratnya. Sial. Mereka seru-seruan, sedangkan aku yang kena imbasnya.

"Lo mau ikut?"

Aku berpikir sejenak sambil menatap Alvaro menyalakan pemantik api dan membakar sumbu rokok.

"Siapa aja?"

"Nggak tahu," jawabnya sambil menghisap rokok.

"Aku ke kamar dulu."

Dia menoleh. "Kenapa?"

"Bau rokok."

Alvaro gelagapan. Kemudian mematikan rokoknya. Meraih lengan kiriku, dan aku terduduk kembali.

"Tinggal bilang 'Al matiin rokoknya' aja susah amat. Pake segala basa-basi mau ke kamar dulu."

"Ck." Aku mendecak sebal.

HAPPY STORY [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang