Wanita itu kembali menatapku, kemudian arah matanya turun ke arah perutku. Wajahnya memerah. Seperti hendak menangis. "Ini Happy, Bun, Pah." Alvaro berkata begitu.
Tiba-tiba tubuhku direngkuh oleh wanita itu. Sangat erat. Lalu tangannya mengelus rambutku sambil berkata, "Kamu pasti kuat, sayang." Detik itu juga aku ikut menangis di dalam pelukannya.
Aku duduk di samping Alvaro, berhadapan dengan laki-laki dan wanita itu yang terus menatapku lamat-lamat.
"Alvaro," ucap Jaya—ayahnya Alvaro dengan suara yang tegas.
"Kamu tau itu salah?!" tanya Pak Jaya dengan wajah serius. Alvaro menjawabnya dengan mengangguk. Di sini aku benar-benar merasa bersalah. Seharusnya bukan Alvaro. Tapi Raffa.
"Lalu bagaimana sekarang? Kapan kamu akan bertanggung jawab?!"
"Secepatnya, Pah." Entah kenapa Alvaro menjawab dengan tegas. Aku tidak mengerti mengapa ia ikhlas dirinya harus terlibat permasalahanku.
"Happy, kabarkan orang tuamu. Lusa akan kita laksanakan pernikahan ini." Pak Jaya diam sebentar untuk kembali berbicara. "Alvaro, Papah bangga sama kamu karena mau mengakui kesalahan. Itu sudah cukup meyakinkan Papah, kamu anak yang bertanggung jawab." Pak Jaya menepuk bahu Alvaro, kemudian bergegas menuju kamarnya hendak istirahat.
Octa—ibu Alvaro, berpindah duduk menjadi di samping kiriku. Mengelus lembut rambutku."Maafkan Alvaro ya, Nak. Tenang saja, kita akan bertanggung jawab atas perbuatan Al. Sekarang kamu istirahat, ini sudah malam. Besok kita urus semuanya." Aku mengangguk samar kemudian Ibu Octa bergegas meninggalkan aku juga Alvaro.
"Ayo," ajak Alvaro lalu segera kuikuti langkahnya. Mataku sembab, hidungku juga jadi memerah.
Alvaro memutuskan untuk kembali tidur di kamar tamu. Membiarkanku beristirahat terlebih dahulu. Lama-lama rasa kantuk pun menghampiriku. Alvaro tidak langsung ke kamar tamu. Ia duduk di atas kursi menghadap ke arahku. Melihat lurus mataku dengan tatapan sendu.
Betapa rumitnya perjalanan hidup yang harus ia tempuh. Persahabatan mereka renggang karena Alvaro enggan bertemu dengan Raffa, si cowo pengecut yang enggan bertanggung jawab atas perilaku bejatnya. Sudah dapat enak, setelah itu acuh tak mau tau risikonya.
'Gue gak pernah nyangka kalau lo yang bakal dampingin hidup gue. Lo itu cewek cupu yang entah kenapa malas buat gue lihat. Bahan bully-an geng gue. Perkataan gue selalu menusuk bahkan mungkin masih banyak bekasnya di hati lo. Nasib gue. Ini takdir gue. Gue harus siap jalanin walau ini semua bukan impian gue.'
Alvaro tak menyadari satu tetes air bening itu turun dari sudut matanya. Ini kali pertama ia menangis setelah sekian lamanya di saat kelas satu SD karena tidak dituruti permintaannya untuk dibelikan ipad juga handphone. Ini kali pertama ia menangis, belajar menerima kenyataan hidup yang amat pahit baginya.
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
HAPPY STORY [SUDAH TERBIT]
RomansaNovel Happy Story sudah bisa dipesan! Ikutan juga Pre-order keduanya pada tanggal 18 Januari 2022. Semua berubah ketika aku dinyatakan : hamil. Kenyataan pahit itu harus kuterima walau sakit yang mendalam. Namun, semua kembali berubah ketika dia, m...