18. His Love

617 108 22
                                    

Pria itu datang lagi. Setelah sekian lama, luka lama itu kembali terasa nyeri. Walaupun susah payah ditutup pun, akhirnya lubang besar itu terbuka. Masa lalu kelam yang dikubur dalam kini mencuat ke permukaan. Pil pahit harus kembali ditelan. Mau tidak mau, Nayeon harus kembali berduka.

Kim Taehyung. Pria brengsek itu kembali mengusik hidupnya. Delapan tahun lalu Taehyung datang tiba-tiba dan membawa petaka, sekarang pun juga.

"Kenapa dia harus datang lagi?" gumam Nayeon.

Wanita itu melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Empat hari ini dia melewatkan hari yang melelahkan. Sangat melelahkan. Lelah fisik dan pikiran. Sejak pagi Nayeon harus bolak-balik kamar mandi hanya untuk muntah dan setelahnya hanya bisa tergolek lemah di ranjang.

"Tuhan... Apa lagi ini? Kenapa aku harus memikirkannya?"

Kepalanya dipukul pelan beberapa kali berharap bayangan pria itu hilang dari benaknya. Nihil, pria itu menguasai otaknya.

"Kenapa dia tidak mati saja atau membusuk di penjara? Kenapa?"

Air mata itu menjelaskan segalanya. Rasa takut, gelisah, terluka, perasaan buruk lainnya dijelaskan oleh buliran bening yang entah sejak kapan menetes dari matanya.

Nayeon menghapus air matanya dan mencoba tidur. Dia harus sadar jika dia mengidap sebuah penyakit mematikan yang bisa kapan saja merenggut nyawanya. Dengan terlalu memikirkan pria itu, kondisinya akan memburuk. Setiap hari mungkin demikian, tapi mengingat Taehyung itu akan mempercepat kematian.

Samar Nayeon dengar pintu kamarnya dibuka. Dia membuka matanya perlahan dan dalam gelap itu dia melihat buah kepedihan yang tengah berjalan mengendap-endap ke arahnya. Ingin dia berteriak padanya, tapi malam ini anak itu beruntung karena Nayeon sedang lemas dan tidak berdaya. Nayeon memilih memejamkan mata, enggan menatapnya.

"Uh, untunglah Mama sudah tidur," gumamnya.

"Kasihan, Mama sakit. Harusnya tadi Bibi Jung panggilkan dokter."

Tangan dingin itu menempel di dahinya. Tangan dingin, kecil, dan halus itu membawa rasa aneh pada diri Nayeon. Ingin menepis tangan itu, tapi tangan itu seolah mengandung sihir yang mampu membuat Nayeon diam pada posisinya. Memejamkan mata seolah lelap sebagaimana yang nampak oleh anak itu.

"Uh. Mama masih panas. Bagaimana ini?"

Kenapa dia sangat peduli padaku? Batin Nayeon bertanya.

"Aku kompres saja, Mama. Tapi kalau bangun bagaimana, ya? Tapi kalau tidak dikompres nanti panasnya tidak turun. Miko harus apa?"

Nayeon tidak tau anak itu sedang berekspresi bagaimana, tapi dari nada bicaranya Nayeon yakin anak itu sedang bingung.

"Papa, Miko harus apa? Papa katakan pada Tuhan agar buat Mama jangan bangun dulu ya? Miko akan ambil kompresan untuk Mama."

Kemudian hening. Nayeon membuka matanya perlahan dan tidak menemukan Miko di samping ranjang.

Pikirannya kembali berkecamuk memikirkan kenyataan. Harusnya Miko dia singkirkan sejak lama. Anak itu tidak lebih dari beban baginya. Harusnya dia biarkan Miko ikut kedua mertuanya ke negeri kelahirannya. Tapi tiap Nayeon memikirkannya, Nayeon juga merasa berat kehilangannya.

Derit pintu terbuka kembali membuat Nayeon harus memejamkan mata. Biar saja anak itu melakukan apa yang dia suka. Hari ini dia beruntung karena Nayeon sedang sakit. Kalau tidak, mungkin Nayeon sudah menendangnya keluar kamar sejak tadi.

Sejujurnya Nayeon bisa melakukannya. Dia masih mampu membentak atau memaki anak itu. Tapi entah bagaimana Nayeon malah hanya diam tak berkutik.

"Mama tidur, ya? Miko akan kompres Mama," bisik anak itu.

"Please, jangan bangun..."

Rasa dingin langsung menjalar di dahinya. Handuk basah itu sedikit meringankan rasa sakit kepalanya dan mungkin bisa menurunkan suhu tubuhnya yang diatas normal.

"Mama cepat sembuh, ya? Kami semua sedih kalau Mama sakit," bisik anak itu lagi.

"Miko akan jaga Mama, semoga Mama tidak bangun. Mama akan marah nanti."

Jika saja Miko tau Nayeon masih terjaga dan sekarang tengah mati-matinya menahan tangisnya, apa yang akan dilakukan Miko? Lari seperti pencuri yang ketahuan?

"Miko sayang Mama. Walaupun Mama tidak sayang, tapi tidak papa. Miko ada karena Mama, Mama biarkan Miko lihat Mama saja Miko sudah sangat bahagia."

Setetes air mata keluar dari mata yang terpejam itu. Miko tidak tau karena kamar yang kurang pencahayaan. Itu adalah sesuatu yang harus Nayon syukuri sekarang.

Kenapa dia begitu mencintaiku?

Harusnya dia membenciku jadi aku tidak segan untuk membencinya.

"Mama kalau sakit jangan ditahan, ya? Nanti makin parah."

Membiarkan anak itu masuk ke kamarnya dan merawatnya adalah kesalahan besar. Harusnya Nayeon tidak membiarkan itu. Tindakan sederhana anak ini bisa saja meluluhkan hatinya yang mengeras. Mencairkan hatinya yang membeku dengan kehangatan tangan dingin bocah ini.

"Mama, apa Mama pernah mimpikan Miko? Pernah tidak, Ma? Tidak ya?"

Ini menyakitkan, sungguh. Kepolosan Miko benar-benar membuat hati Nayeon nyilu.

"Tidak papa. Tapi Miko sering mimpikan Mama. Mama tersenyum dan tertawa karena Miko. Walau hanya mimpi, Miko senang. Suatu hari nanti, Miko yakin Mama akan tersenyum dan tertawa karena Miko."

"Miko cinta Mama, sekarang dan selamanya. Kalau Miko bilang benci Mama itu Miko bohong, ya, Ma?"

Nayeon tidak kuasa hingga akhirnya sepasang jendela dunia itu terbuka. Miko yang melihat itu sontak menegang tubuhnya. Mata Mamanya berkaca-kaca dan jika Miko teliti lagi ada air mata di pipinya.

"Mama bangun? Ka-karena Miko, ya, Ma? Ma-maaf, Miko tidak bermaksud..."

Miko tersentak sekali lagi saat tubuhnya tiba-tiba ditarik hingga dia jatuh ke ranjang, tepat di samping Nayeon. Belum sadar sepenuhnya, tubuh Miko direngkuh dengan erat membuat anak itu semakin tidak mengerti dengan yang sekarang terjadi.

"Sudah malam, Miko tidur, ya?" bisik Nayeon.

Puncak kepalanya dikecup beberapa kali. Sebuah kecupan hangat nan penuh cinta. Kecupan yang diidamkan Miko sejak lama.

"Miko mimpi, ya?" tanya Miko pada entah siapa.

Nayeon hanya diam sambil merengkuh tubuh itu. Diusap rambutnya dengan lembut membiarkan anak itu merasa dalam mimpi.

"Miko tidur, ya, sayang? Sudah malam..."

Satu kecupan lama Miko rasakan di puncak kepalanya. Rasanya nyata sekali. Ini mimpi yang luar biasa.

"Selamat malam, Mama."

"Selamat malam juga, kesayangan Mama."

Kemudian Miko memejamkan mata dalam pelukan hangat mamanya. Dalam buaian kasih itu Miko terserang kantuk yang sama sekali tidak bisa dihalaunya hingga anak itu benar-benar masuk ke alam bawah sadarnya.

Nayeon hanya bisa menangis dalam diam. Cintanya benar-benar mematikan. Cintanya benar-benar bisa membuat kekerasan hati Nayeon menghilang. Sial, benar-bensr sial!

Tapi tak apa. Malam ini saja, biarkan Nayeon mengalah dengan egonya. Malam ini saja, biarkan Nayeon berdamai dengan kebenciannya. Sekali saja dia ingin memberikan cinta kasihnya pada Miko. Sekali sebelum malaikat maut hadir di hadapannya dan menghentikan waktunya. Sekali saja, biarkan Nayeon mengatakan jika dia juga menyayangi bungsunya.

"Mama sayang Miko."

To be Continue...

Destiny [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang