Mengalah bukan berarti kalah.
~~~"Berlian!" Panggil Galaksi seraya membuka pintu kamar Berlian.
Namun baru saja pintu terbuka, dahi Galaksi sukses berkerut kala bola matanya tak berhasil melihat sosok Berlian. Jam dinding baru saja menunjukan pukul 06:45 pagi. Seharusnya Berlian masih bersiap untuk pergi ke sekolah. Namun nyatanya Berlian sudah tidak ada di kamarnya.
"Dek? Lo di mana?" Galaksi memasuki kamar Berlian, dugaannya kali ini mungkin Berlian masih berada di dalam kamar mandi.
Namun tak ada jawaban sama sekali. Saat Galaksi mencoba membuka kamar mandi pun, pintunya tak dikunci. Bahkan Berlian tak ada di dalam sana. Membuat Galaksi semakin bingung. Terlebih saat ia baru menyadari tempat tidur Berlian yang rupanya masih berantakan.
Biasanya tak begini. Berlian tak pernah membiarkan apalagi meninggalkan tempat tidurnya dalam keadaan berantakan seperti ini.
Dengan dahi yang masih mengerut, Galaksi melangkahkan kakinya mendekati tempat tidur Berlian. Namun, baru saja ia sampai di dekat tempat tidur Berlian, bola matanya sukses membulat total kala ada sesuatu yang sukses menarik perhatiannya.
"Loh? Darah apa ini?" Gumam Galaksi bingung sekaligus terkejut.
Galaksi menatap tajam darah yang terdapat di bantal milik Berlian. Bukan lagi sebuah bercakan, namun terlihat seperti genangan darah yang mulai mengering. Warna merah darah tampak kontras dengan warna sprey yang putih bersih.
"Berlian datang bulan, kah?" Curiga Galaksi.
"Tapi mana mungkin darahnya bisa ada di atas kaya gini?" Ragu Galaksi.
Galaksi benar-benar bingung. Darah apa itu? Darimana asalnya darah sebanyak itu? Bagaimana pula bisa bernoda di sana? Dan yang paling penting, jika itu darah Berlian, Berlian kenapa?
•••
Suram. Dunia terasa gelap gulita. Tak ada lagi langit yang cerah. Bintang dalam malamnya pun tak hadir. Pelangi yang memberi warna dalam hidupnya seolah pergi. Redup, layaknya saat gerhana matahari menyerang. Tak ada lagi sesuatu yang bertahan. Satu bencana itu, seolah sedang merenggut segalanya yang ia miliki.
Langkahnya perlahan. Pandangannya tertunduk, menatap lantai putih yang dipijaknya. Luka basah di wajahnya masih tampak jelas, tanpa ada obat merah sedikitpun. Bahkan darah yang sudah mengering sebagian masih bertahan di wajahnya.
Seolah dengan sengaja ia mempertahankan luka itu. Agar dunia tahu, agar dunia melihatnya. Bahwa luka yang menghiasi wajahnya saat ini adalah gambaran hatinya yang sedang hancur berkeping-keping. Hancur oleh sebuah penghianatan. Dan kegagalannya dalam mengenali seseorang di balik topeng sandiwaranya.
Dua meter sebelum ia berhasil mencapai kelasnya, dengan terpaksa langkahnya harus terhenti saat bola matanya sukses melihat ada sepasang kaki yang dengan sengaja menghalangi jalannya. Berlian segera mengangkat kepalanya, menatap orang yang telah berani menghalangi jalannya.
Kristal. Gadis pemilik iris mata berwarna coklat terang itu tampak tersenyum padanya. Senyuman yang sama dengan senyuman semalam yang diberikannya pada Berlian. Puas. Satu hal yang terlintas dalam benak gadis itu saat melihat kehancuran yang mulai menguasai wajah Berlian.
Pandangan Berlian yang sempat kosong, seketika berubah tajam. Bibirnya semakin terkatup rapat dengan rahang yang mulai mengeras.
"Ternyata lo kuat juga, ya? Setelah apa yang terjadi semalam, lo masih kuat berangkat sekolah hari ini." Ucap Kristal dengan nada bicaranya yang masih belum berubah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gerhana Berlian Season 2
Ficção Adolescente[Completed] Berjuang dan Berkorban Bersamamu Ada satu elemen bumi yang masih tersembunyi. Menjadi Rahasia. Fatamorgana. Bukan itu, justru hal sebaliknya yang entah apa namanya. Sesuatu yang ada, namun seolah tiada. Sesuatu yang berusaha dihempaskan...