Tarik napas dulu.
***
"Galak?" Panggilan Agatha membuat langkah Galak di anak tangga berhenti. "Ayo berpisah secara baik-baik."
Baik-baik katanya ... seolah tidak ada luka yang diciptakan oleh perpisahan.
"Ngaco," Galak menyetus. Ia memutar badan dan menatap gadis itu dengan datar. "Lo pikir gampang lepas dari gue?" tanyanya dengan decihan sinis. Lalu setelahnya cowok itu terkekeh pelan, manik hitamnya tak lepas sedetik pun dari manik coklat Agatha.
Agatha meneguk ludah susah payah lalu ia bertutur, "Jangan buat semua makin sulit Galak. Nanti kita bakal ketemu lagi---, bakal sama-sama lagi."
"Nggak," tolak Galak.
"Bisa nggak sih jangan egois?" Bibir Agatha bergetar, kepalanya hampir pecah memikirkan semuanya. Papanya memang orang baik---tapi ketika pria itu diusik maka keluarga Galak yang akan kena imbasnya. Agatha tidak mau itu terjadi, lebih baik ia pergi tanpa harus merasa bersalah.
"Egois kata lo?" Galak mengulum bibir menahan sesuatu yang panas di dada. "Coba lo ngaca, lo tanya sama diri lo sendiri, siapa yang egois," katanya dengan ekspresi datar.
"Galak, Atha capek---"
"Lo pikir gue nggak capek hah???" Galak menyela. Ia mati-matian menahan diri agar tidak bertindak di luar batas wajar tapi Agatha dengan mudahnya menyulut emosi. "LO GAMPANG BANGET NGOMONG PISAH! LO SEMUDAH ITU NGAMBIL KEPUTUSAN TANPA MIKIRIN GIMANA NANTI KEADAAN GUE KALAU NGGAK ADA LO!"
"Ini lebih baik---"
"Better? Gitu?" Galak terkekeh tak habis pikir. "Karna lo mikir kalau semua bakal selalu baik-baik aja."
"Nggak gitu," jengah Agatha. "Anggap aja ini jeda buat kita, nanti kita ketemu saat kita udah sama-sama dewasa," jelasnya.
Agatha tidak akan pernah mengerti. Agatha tidak akan pernah tahu bagaimana kondisi Galak ketika gadis ini tidak ada di sampingnya. Galak pernah menyesal ketika Agatha pergi dari rumah dan berakhir ke negara kelahirannya. Penyesalan yang sampai saat ini masih terasa dan tidak ingin mengulangi lagi.
Lalu sekarang, gadis itu akan pergi lagi. Meninggalkannya---tanpa tahu bagaimana gilanya Galak tanpa sosoknya.
"Lo nggak akan ngerti," ucap Galak pelan dengan kedua tangan terkepal. "Lo nggak akan pernah mau tau gimana kesiksanya gue nggak ada lo." Setelah mengucapkan kalimat itu, Galak kembali menaiki anak tangga, tak mau menoleh karena ada denyutan sakit di dada. Benci sekali ketika bernapas saja rasanya amat susah.
Bodoh---Galak terlalu bodoh dengan perasaannya. Di mana dia yang dulu tidak peduli dengan keberadaan banyak perempuan di sekitarnya? Di mana dia yang dulu yang tak pernah memikirkan cinta? Ia bahkan mengenal semuanya ketika bersama Agatha tanpa tahu penyebab luka yang sekarang menancap di dada adalah gadis itu.
Seharusnya dari awal Galak lebih bisa mengontrol diri untuk tidak mencintai Agatha sedalam ini.
***
"Lak, lo sama Syelin nanti jam sebelas," celutuk Andrey sembari mengibas wajah dengan topi. Galak hanya bergumam pelan sebagai jawaban.
"Napa lo? Agatha nggak ngasih jatah?"
Galak lantas berdecak lalu menendang kaki kursi yang diduduki Andrey."Pala lo jatah pesugihan."
"Sialan," kesal Andrey. "Muka lo kusut benar anjir. Mau tanding harus semangat dong sayang, nanti gue kasih jatah kalau menang."
Galak memilih bersandar pada tembok di belakang. Manik hitamnya setia mengawasi Agatha yang tengah berbincang bersama Febiola. Ia membawa gadis itu ke sekolah, tentu saja dengan sedikit gertakan agar mau menurut padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
GALAK
Teen Fiction(GARUDA SERIES 1) #teenfic-romance "Memang mau nikah." Bentar. Galak tarik napas dulu. Galak mungkin masih mimpi atau memang mau nikah cuma dia ikutan diundang sebagai tamu spesial meskipun perasaannya sudah tidak tenang. Lagi pula Galak masih sekol...