00

64.8K 5.9K 1.1K
                                    

Berdiri di luar jendela hanya untuk melihat aksi kartun favorite-nya. Kartun yang menjadi kegemaran anak-anak di usianya. Tangan kecil anak laki-laki berusia lima tahun itu bertepuk riang, mengikuti alunan lagu yang dinyanyikan dua bocah kembar dari Malaysia di layar kaca. Mata bulatnya berbinar antusias, anak laki-laki itu bahkan tak sedikitpun mengalihkan tatapannya dari layar televisi yang berada di dalam sana itu.

"Ini kisah kami semua." Tak sekali dua kali anak laki-laki itu mengikuti apa yang diucapkan dua botak kembar kemudian tertawa kecil.

Namun, saat tengah asik-asiknya menonton dengan gembira, jendela tiba-tiba tertutup dengan kelambu mengahalau pandangannya dari kartun Upin dan Ipin yang tengah ditontonnya. Anak laki-laki itu meneguk ludah kemudian menggigit bibir bawah, sedetik kemudian air mata jatuh ke pipinya.

Ia menangis keras dengan tangan mungil mengetuk-ngetuk jendela, berharap sang pemilik rumah membiarkannya menyelesaikan menonton kartunnya.

"Bibi, buka pintunya! Bibi, besok kalau Emilio punya TV, Emil gak nonton lagi di rumah Bibi. Bibi, Emil cuman numpang nonton dari luar! Emil janji gak nakal. Bibi, di rumah Emil gak ada TV seperti di rumah Bibi!" isaknya. Namun, tak ada sahutan karena justru tak terdengar lagi suara Upin dan Ipin dari dalam yang berarti sang pemilik rumah sudah mematikan televisinya.

Anak laki-laki malang yang bernama Emilio itu menunduk sama sekali tak mengerti ucapan sang pemilik rumah yang terdengar berbicara dari dalam.

"Jangan biarin anak itu kemari. Gimana kalau dia manjat dan barang di rumah jadi hilang?"

Padahal Emillio hanya ingin menonton bukan mencuri. Langkah kaki kecil itu memilih berlalu dari sana sembari sesekali menghapus air mata yang tak henti-hentinya terjatuh tetapi kemudian mata bulat indahnya kembali berbinar antusias saat melihat rumah terbuka dengan dari kejauhan terlihat sebuah televisi menyala.

Kakinya mendekat lalu saat ia sampai rumah itu, ia menaiki teras lalu tubuh rapuhnya ia dudukkan di luar dekat pintu dengan mata fokus ke arah layar kaca. Sama sekali tak berpikir kalau nanti pemilik rumah bisa saja marah. Tepat saat ia tertawa terpingkal karena aksi lucu dari larva yang mempunyai mata di layar kaca, seorang wanita paruh baya keluar sembari menyiram tubuhnya dengan seember air.

"Tubuh kotormu berani sekali menaiki teras rumahku?!"

Emillio mengusap air di wajahnya kemudian menatap Bibi pemilik rumah dengan senyum lebarnya seperti anak kecil yang baru saja mendapat mainan dari orang tuanya.

Anak laki-laki itu membalas, "hehe Emil numpang nonton bentar, ya, Bi. Dikit aja. Emil gak punya TV di rumah. Emil juga gak punya Ibu sama Bapak buat beliin Emil TV."

Wanita paruh baya pemilik rumah berlalu dari hadapannya membuat Emillio mengucapkan, "terima kasih, Bibi baik sekali." Dengan senyum yang memperlihatkan deretan giginya.

Anak laki-laki itu kembali fokus menatap layar dan kembali tertawa terpingkal-pingkal melihat aksi yang menurutnya lucu dari kartun Larva yang menggemaskan. Emillio memegang perutnya sembari terus tertawa tetapi kemudian wanita paruh baya yang tadi menyiramnya muncul bersama seorang pria paruh baya yang membawa kayu.

"Ini dia malingnya, Mas," kata wanita itu menunjuk Emillio yang mengerjap polos.

Pria tua itu kemudian tanpa berprasaan melayangkan kayu di tangannya memukul Emillio yang memekik kesakitan dengan tangisan yang membuat siapapun pilu mendengarnya.

"Ampun! Ampun! Emil bukan maling- Emil bukan maling! Emil cuman mau nonton, ampun Bibi, ampun Paman! Emil cuman mau numpang nonton, di rumah gak ada TV! Ampun," pekik anak laki-laki itu sembari berlari kecil menghindari pukulan yang terus melayang ke pantatnya.

"Emil cuman mau nonton ulat, Ampuni Emil!" isaknya. Saat ia terjatuh di tanah sembari meringis kesakitan memegang betisnya yang lebam, pria dan wanita itu segera memasuki rumah sembari menutup pintu keras setelah mengatakan, "lantai rumah saya jadi ikutan kotor karena kamu."

Emillio sendiri berupaya bangkit kemudian menadahkan tangan dan menatap langit. "Ya Allah beliin Emil TV ya Allah, Emil pengen nonton TV. Di sini gak ada yang mau ngasih nonton. Ya Allah beliin Emil TV, ya Emil tunggu."

Di tempat lain, seorang wanita cantik memakai gaun duduk di sofa mewah dengan televisi besar menyala di depannya. Sebuah benda pipih persegi panjang menempel di telinga.

"Gimana pemotretan hari ini?" tanya seseorang dari seberang sana.

"Lancar," jawabnya sembari meneguk segelas air putih.

"Oh iya Milly. Sepupu gue kayaknya naksir deh ama lo. Siapa sih yang gak naksir sama cewek secantik dan sesempurna lo?"

Wanita yang dipanggil Milly tertawa mendengarnya. "Lebay, lo."

Kemudian televisi di depannya pecah saat seseorang datang melayangkan batu tepat mengenai layar televisi membuat Milly spontan bangkit dari duduknya kemudian menjatuhkan ponsel di tangan saat melihat seorang laki-laki tampan bermata tajam masuk dengan jas hitam dan dasi terlihat rapi berjalan tergesa ke arahnya dengan raut murka yang kentara.

"Dimana anak gue?" tanya laki-laki itu, menatap Milly seperti akan membakar waniita itu hidup-hidup lewat tatapan. "DIMANA ANAK GUE?!"

"GUE BUANG!" jawab Milly ikut berteriak karena tak tahan. Laki-laki di depannya mengumpat hendak melayangkan pukulan tetapi lebih dulu terhenti karena ucapan Milly.

"Pukul, pukul gue Dareen! Pukul! Karena lo hidup gue hancur!" sentak Milly dengan tangis yang tak bisa ia tahan.

"Gue udah bilang, tunggu gue, TUNGGU GUE! GUE AKAN TANGGUNG JAWAB. TAPI APA YANG LO LAKUIN HAH?!" balas Dareen tak kalah tinggi membuat Emilly tertawa. Namun, wanita itu menghentikan tawa kemudian menatap laki-laki yang dulu dicintainya.

"Lo tahu semenderita apa hidup gue setelah lo hamilin gue dan pergi gitu aja hah? Nunggu? Bahkan setelah anak itu lahir lo pergi kemana? Gue gak cuman dapet sanksi sosial," isak Milly kemudian mengepalkan tangan. "Lo masih punya muka? Punya hak apa lo marah-marah setelah enam tahun menghilang?"

Milly mendorong tubuh Dareen dengan tangis keras. "Pergi! Jangan pernah muncul lagi, anggap aja anak itu enggak ada atau udah lama mati."

Kita bisa mendongak ke atas menatap langit untuk bermimpi, ada banyak orang yang jauh lebih beruntung dari kita dan semoga kelak kita bisa menjadi salah satu dari mereka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kita bisa mendongak ke atas menatap langit untuk bermimpi, ada banyak orang yang jauh lebih beruntung dari kita dan semoga kelak kita bisa menjadi salah satu dari mereka. Namun, Tuhan juga membuat kita bisa menunduk ke bawah menatap tanah untuk membuat kita bersyukur, ada begitu banyak pula kehidupan orang-orang yang jauh lebih banyak kekurangannya dari kita.

Lombok, 01/10/2020

****

Lanjut gak nih?

EMILLIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang