Written by : San Hanna
Suara meja kaca yang hancur dihantam botol beling, membuat semua orang di ruangan itu membatu. Bangku kayu tinggi, melayang dan jatuh setelah menabrak dinding dan terbelah jadi tiga. Tidak seorang pun beranjak dari tempatnya, seolah-olah kejadian seperti itu sudah biasa.
“B-Bos, tapi berita itu belum pasti.” Suara seorang pemuda yang tergagap memecah hening. “Masih rumor. Suruh saja orang itu beresin masalah ini,” katanya lagi. Orang yang diajaknya bicara mendelik, dan dia menunduk.
“Siapa?” tanya orang yang dipanggil Bos. “Orang itu siapa?” ulangnya lagi dengan suara lebih tinggi. “Orang yang cuma datang untuk mengambil uang tanpa berbuat apa-apa?” tegasnya sembari mendekati anak buahnya yang kini menekuk lehernya lebih dalam.
Suasana hening.
“Jon!” panggil seorang lelaki lainnya. Dia maju perlahan. “Gue rasa dia benar. Elo juga benar,” ralatnya buru-buru ketika Joni menoleh. “Ini saatnya dia kerja.”
Joni menendang patahan bangku sembarangan. “Karena dia ‘kerja’ makanya barang kita disita dan klub gue terus disamperin. Elo tahu berapa kerugian gue?”
“Dengerin gue!” katanya santai dengan tangan diselipkan dalam kantong celana, “justru karena itu, elo harus bikin dia kerja serius. Tunjukin ke dia siapa bosnya.”
*
Di tempat lain, seorang lelaki paruh baya bertubuh tinggi besar dengan perut menyembul, wajahnya berubah pucat saat membaca salinan berkas di tangannya. Akhirnya dia tahu alasan dua rekannya tampak bahagia. Mereka sudah sangat dekat dengan tujuan dan itu berarti masalah besar baginya.
Jantungnya berpacu dan napasnya memburu dua kali lebih cepat. Tenggorokkannya terasa begitu kering sampai-sampai dia menandaskan segelas air dalam satu tarikan napas. Pikirannya mulai memproyeksikan berbagai kemungkinan yang akan dihadapinya. Hal itu semakin membuatnya gelisah.
Waktu berjalan lambat menurutnya. Dalam satu jam terakhir, sudah puluhan kali dia melirik jam di dinding. Sesekali dia menyeka peluh yang tumbuh subur di kening. Dia nyaris melonjak saat ponselnya menyalak. Setelah mengelap telapak tangannya yang becek karena keringat, jempolnya yang gemuk menggeser ikon berwarna hijau, lalu menempelkan benda itu di telinga.
“Iya,” katanya sambil berusaha bernapas dengan normal.
“Lay! Kita ngobrol sambil makan di tempat biasa,” ucap suara dari seberang.
Lelaki yang disapa Lay itu mengangguk, kemudian dia sadar atas perbuatan bodohnya. “Saya akan datang segera begitu pekerjaan di sini beres.”
Sambungan diputus begitu saja dan itu membuatnya kesal. Dia meletakkan ponsel yang layarnya basah di atas meja, lalu melempar punggungnya ke sandaran kursi. Matanya lurus menatap berkas yang berserak di meja. Pelipis berdenyut, rahang mengeras, dan kini otot-otot perutnya ikut menegang. “Sial!” gerutunya. Sekali lagi dia melihat jam. Mengukur sisa waktu untuk merancang alasan dan menyelamatkan diri.
Sembilan puluh menit sebelum pertemuan, pria bertubuh gempal itu sudah memasukkan semua salinan berkas dalam tas kerjanya. Dia tidak langsung berangkat seperti ucapannya di telepon.
Enak saja, main perintah! Kalau bukan karena jasaku, sudah lama dia tidur di hotel prodeo, rutuknya dalam hati.
Lay melenggang dengan santai ke luar ruang kerjanya. Melempar senyum dan anggukkan pada setiap orang yang berpapasan dengannya seperti biasa. Tepat di depan pintu lift, dia bertemu dengan dua orang rekannya yang beda usia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tempat Kita Pulang
Mystery / ThrillerArina Prameswari, seorang penyidik cantik yang berjuang untuk menemukan keberadaan sang ayah dan memulihkan namanya. . Menurut Riri, sebuah konspirasi menjebak ayahnya hingga dia masuk dalam DPO. Dan Riri ingin membuktikan sebaliknya. . Ditemani Gha...