Written by : San Hanna
“BRENGSEK!” teriak Jack setelah menghantamkan botol minuman lantai. “Mana dia? MANA DIA?!” teriaknya lagi dan menghancurkan lebih banyak botol. Tumpukan kardus air mineral yang sudah siap kirim pun jadi sasaran amarahnya.
Joni sadar betul amarah ketuanya sulit dibendung saat ini. Semua kirimannya digagalkan pihak berwajib dan pasokannya pun ikut tersendat. Entah itu masalah saat pengiriman dari negara asal atau tidak bisa melewati bea cukai. Belum lagi polisi yang mulai mengendus lagi klub malam miliknya.
Dia membuka sebuah aplikasi pada ponselnya. Menyentuhnya dua kali dengan cepat, lalu muncul sebuah peta digital. Dia mengetikan sebuah nama di kolom pencarian. Beberapa detik kemudian, sebuah titik merah muncul. Titik itu berkedip dan perlahan berpindah dengan sendirinya.
“Tiga menit. Lima paling lama,” ujar Joni seraya menunjukkan layar ponselnya. Dia menuangkan segelas minuman dan memberikannya ke Jack. “Take a chill, Bro!” katanya setelah Jack menenggak minumannya.“Santai?” ulang Jack pelan. “Santai lo bilang?” dilemparnya gelas itu ke arah Joni. Meleset sedikit saja, pelipis pria itu yang akan terluka. Jack memang menyasar bagian itu dan Joni tahu Jack tidak akan menyakitinya.
“Orang ini memang seperti parasit. Hidup dengan menghisap darah dari tubuh yang ditempatinya, tapi justru itu yang kita butuhkan saat ini. Tugasnya tempo hari bisa dibilang berhasil. Buktinya elo bisa bebas.”
Ucapan Joni tidak membuat Jack berubah pikiran. Dia masih kesal lantaran lagi-lagi anak buahnya diciduk.“Satu-satunya orang yang bisa kita manfaatkan cuma dia, Jack. Kita suruh dia buat menghabisi bajingan satunya yang beruntung. Dia yang belakangan ini gencar mengincar kita. Modus operandi kita sudah terendus.” Joni menyilangkan kaki. Tubuhnya bersandar pada meja bar, dengan kedua sikut yang bertumpu di atas meja.
Lay yang dikawal dua orang penjaga, masuk ke ruangan setelah diiizinkan. Tangannya lengket dan basah oleh keringatnya sendiri. Dia mengelap tangannya ke celana saat mendekati Jack, lalu mencoba menyalaminya. Jack malah melipat tangan di depan dada, tanda tidak ingin bersalaman.
Lay menelan ludah untuk membasahi tenggorokkannya yang tiba-tiba terasa kering. Dia memutar arahnya ke Joni, tapi hanya dibalas anggukan kepala alih-alih menjabat tangannya.
Lay menaikkan celananya dan berbasa-basi dengan menanyakan kabar. Dia sedang mengulur waktu atau menyiapkan dirinya sebelum disemprot. Dia tahu betul alasannya dipanggil ke klub ini di luar jadwal bulanannya.
“Elo yang urus atau gue, Jon?”
Alis Joni terangkat, lalu dia mengangguk pelan. “Serahin sama gue.” Jack langsung pergi tanpa mengatakan apa-apa.Di ruangan itu hanya ada Lay, Joni, dan dua pengawal tadi. Joni beranjak dari tempatnya dan mendekati Lay yang tampak gelisah. Sebutir keringat meluncur bebas di sisi wajahnya, ketika Joni menyisakan jarak dua langkah darinya. Ekspresinya tidak bisa dibaca dan itu yang membuat Lay takut.
Tanpa aba-aba, Joni melayangkan bogem mentah tepat ke hulu hati Lay. Pria paruh baya yang tidak siap menerima serangan itu, langsung terjerembap dengan tangan memegang perut. Joni berjongkok di sisinya, kemudian berbisik. “Itu titipan dari Jack.”
Lay mengerang menahan sakit. Meski perutnya terlindungi lapisan lemak tebal, pukulan itu tetap telak mengenainya.
Joni kembali ke posisinya semula, mengambil sebuah map, lalu membawanya. “Jack ingin mereka bebas dalam tiga hari,” katanya sembari mendorong benda itu ke dada Lay, sampai dia mundur selangkah.
*
“SIALAN!” pekik Herman di ruangannya. Dia tidak bisa menguasai diri dan tidak peduli dengan desas-desus yang beredar tentang perangainya. Dadanya mendidih setelah melihat laporan yang diberikan Ghanis. Berbagai berita acara penangkapan, juga rencana kegiatan timnya sebulan ke depan.
“Nggak bisa! Dia harus disingkirkan, seenggaknya dipisahkan dari anaknya Ismawan,” gumamnya. “Anak itu mirip ayahnya saat bekerja. Bisa bahaya kalau dibiarkan.”
Herman melempar bokong besarnya ke kursi. Jari-jari gemuknya menari di atas papan tik, mencari sesuatu dalam program kerja lintas unit. Kemudian dia mengetikkan sendiri sebuah sprin dan langsung mengirimkannya ke direktur. Dia pun menjelaskan urgensi dari sprin tersebut, dengan melampirkan rengiat yang dibuat Ghanis. Dia memastikan dirinya, bahwa Ghanis akan menerima surat itu besok.
*
Awal hari biasanya diisi oleh cerita penggerebekan semalam atau curhat istri yang minta perhatian, sekarang dihebohkan oleh sprin yang menyatakan menarik Ghanis dari timsus. Berita itu mengejutkan semua orang, terlebih lagi Riri dan Panda. Keduanya hanya bisa berspekulasi tentang alasan pemindahan tersebut, sambil menunggu Ghanis kembali.
Herman sudah menyiapkan rencana matang dalam waktu singkat. Hal itu terlihat dari begitu tenangnya dia dalam menghadapi salah satu Kanitnya yang protes.
“Kamu jangan salah paham. Pemindahtugasan ini tidak mendadak. Saya sudah menilai kinerjamu sejak lama. Jika kamu berhasil menuntaskan perkara bersama satgas, karirmu akan lebih cepat menanjak.”
“Masalahnya, tim saya sedang mengurai kasus lama. Tidak mungkin saya membiarkan Panda dan Riri menanganinya.”
Herman buru-buru memotongnya. “Siapa bilang hanya mereka berdua,” katanya, lalu tertawa kecil. “Kamu tidak membaca surat itu dengan jelas? Saya menugaskan Priyo untuk menggantikanmu. Melihat rengiat kamu, saya yakin Priyo bisa mengikutinya karena punya pegangan.”
“Tapi, Pak ....”
“Sudah. Keputusan itu sudah final. Lebih baik kamu mulai menyiapkan berkas untuk diserahterimakan dengan Priyo. Silakan kembali karena saya banyak pekerjaan.” Herman tidak mau repot dengan memberikan petuah pada Ghanis. Namun dia mengingat sesuatu yang diyakininya bisa membuat orang itu segera pergi dari hadapannya.
“Salah satu TKP yang dilaporkan untuk kasus baru ini, dekat dengan lokasi kecelakaan mobilmu tempo hari,” katanya, tanpa melihat Ghanis yang mata membelalak.
Ghanis merasa sia-sia bertahan di ruangan tersebut, jadi dia memutuskan untuk pamit. Tangannya mengepal erat begitu melewati pintu. Bisa-bisanya Herman menyinggung soal kecelakaan itu, pikirnya. Berbagai pertanyaan pun langsung berdesakan di kepalanya. Apakah Herman tahu rencananya kembali ke TKP dan memeriksa rekaman CCTV di sekitar lokasi? Orang yang tahu rencananya hanya Fadlian dan Hidayat. Apakah ada di antara mereka yang membocorkannya?
Di tengah serangan pertanyaan itu, terselip perasaan aneh. Untuk pertama kalinya, Ghanis bingung meneruskan informasi yang baru diterimanya. Dia malah membayangkan wajah kecewa Riri, saat tahu dia tidak bisa menolak pemindahan tersebut.
Dengan langkah gontai dia kembali ke ruangan. Riri buru-buru bangkit saat melihat Ghanis masuk, disusul oleh Panda. Ghanis melihat Riri, kemudian beralih ke Panda, dan kembali lagi ke Riri. Dia tidak berkata apa-apa dan langsung menuju ruang kerjanya. Riri dan Panda bertukar pandang. Bingung dengan tingkah pimpinan mereka.“Biar saya yang masuk. Kamu tunggu di sini,” ucap Panda.
Riri hanya bisa menggaruk kepala. Sikap kedua orang ini sangat aneh, bahkan kata-kata Panda berubah formal. Gadis itu meremas-remas tangannya sambil mondar-mandir. Dia tidak bisa terus menunggu. Dia pun memutuskan untuk menyerbu ke ruangan tersebut.
**

KAMU SEDANG MEMBACA
Tempat Kita Pulang
Gizem / GerilimArina Prameswari, seorang penyidik cantik yang berjuang untuk menemukan keberadaan sang ayah dan memulihkan namanya. . Menurut Riri, sebuah konspirasi menjebak ayahnya hingga dia masuk dalam DPO. Dan Riri ingin membuktikan sebaliknya. . Ditemani Gha...