Part 11

315 59 1
                                    

Written by : San Hanna

Sempurna. Kata itu memang pas untuk menggambarkan suasana saat ini. Sunyi, sepi, dan sendirian. Jangan lupakan setumpuk berkas untuk dirapikan berdasarkan kode tertentu. Riri menenggelamkan wajahnya di lipatan tangannya di atas meja.

Gue emang suka suasana kayak gini, bisa bikin lebih fokus, tapi nggak begini juga, protesnya dalam hari. Nyaris tiga bulan sejak pindah ke unit Ghanis, Riri tidak mendapat tugas apa-apa selain mengurusi berkas dan administrasi. Bahkan saat ini dia baru saja kembali setelah menyerahkan berkas pertanggungjawaban keuangan atau perwabku.

Seperti biasa, di ruangannya hanya penuh dengan kursi dan kubikel, sementara pemiliknya berkeliaran di jalan. Jika pun ada penghuninya, itu pun hanya mampir sebentar, entah itu memberikan catatan untuk BA penyelidikan, sekadar setor muka sambil menyicil memberikan nota atau kuitansi, atau hanya menanyakan apakah anggaran kasus sudah cair atau belum. Gadis itu sudah tidak sabar untuk beraksi seperti seniornya di sini, meski harus menanggung pengeluaran lebih dulu selama penyelidikan.

Terdengar suara tuas pintu ditekan. Riri buru-buru merapikan posisi duduknya dan kembali memusatkan perhatian pada tumpukan kertas di hadapannya. Riri menoleh, ternyata Ghanis yang masuk. Seperti biasa, langkah Kanitnya itu tenang dan terukur. Dia hanya menoleh begitu sadar Riri memperhatiknanya, menganggukkan kepala, lalu menghilang di balik pintu ruangannya.

“Balik lagi dong! Kasih tugas apa kek yang bisa bikin gue terbebas dari rutinitas yang perlahan bikin gila ini,” gumam Riri. Matanya masih memandang pintu tempat Ghanis menghilang.

Tak lama, pintu itu terbuka. Tapi Ghanis tak kunjung ke luar. “Ri,” panggil Ghanis dari dalam ruangannya.

YES!” sorak Riri dalam hati. “Disuruh nyusul anggota lain, buat antar kopi  juga gak apa-apa, deh. Yang penting bisa ngerasain kerja lapangan.”
Belum sempat Riri meninggalkan kubikelnya, Ghanis sudah mendekat dengan langkah cepat.

“Tolong serahkan berkas ini ke bendahara, ya! Kalau ini sudah selesai,” Ghanis menunjuk permukaan meja Riri, “kamu boleh pulang.” Lelaki itu berbalik dan hendak melangkah, tapi urung. “Jangan lupa, besok kalau Panda kasih BB, kamu langsung register, ya!” Tanpa menunggu respons, dia langsung balik kanan, berjalan tanpa beban, dan menghilang di balik pintu.

Saking frustasinya Riri mengacak-acak rambutnya. Inginnya sambil berteriak untuk melepaskan emosi, tapi dia sadar tidak mungkin melakukannya di sini. Buru-buru dia mengambil ponsel. Jempolnya dengan lincah berpindah-pindah dari di atas layar sentuh, saat menuliskan pesan singkat.

Dengan muka tertekuk, Riri mengumpulkan berkas yang belum disusunnya, lalu menyimpannya dalam kabinet. Dia bergegas untuk menyelesaikan tugas yang diminta atasannya.

*

“Mayaaaaa,” ratap Riri, begitu melihat sahabat sematawayangnya sudah duduk manis di kedai kopi favorit mereka yang baru. Dia mengabaikan belasan pasang mata yang melihatnya kemudian berbisik-bisik

Seorang perempuan muda langsung mengalihkan pandangannya dari buku ke sumber suara. Dia menggeleng pelan, karena kelakuan gadis itu. Sikapnya hari aneh dan bertolak belakang dengan sosok yang dikenalnya semasa pendidikan dulu. Mungkin dia sudah sangat jenuh.
Memang benar, ya, kejenuhan bisa mengubah karakter seseorang, pikirnya. Dia setuju dengan narasi buku yang sedang dibacanya.

“May! Elo nggak denger dari tadi gue ngomong!” Riri melipat tangan di depan dada. “Susah payah gue ikut pendidikan, tapi kerjaannya masih juga sama. Ketemunya kertas lagi aja,” keluhnya.

“Napas dulu, napa! Pesen apaan kek, daripada ngeluh mulu.”

Riri merengut. “Elo bosen, ya, dengerin curhat gue?” lirihnya, kemudian menyeruput Frappucino yang tersedia.

Maya akhirnya menyelipkan pembatas buku di halaman yang sedang dibacanya, lalu meletakkan buku tersebut di atas meja. “Curhat, sih, curhat. Minuman orang jangan diembat juga keles,” protesnya, kemudian mengangkat tangan. Begitu pramusaji tiba, dia memesan minuman yang sama, di tambah roti bakar cokelat keju dua porsi.

Maya membiarkan Riri terus bercerita. Sesekali menimpalinya dengan bertanya seputar pekerjaannya saat ini. Dia sebenarnya jenuh mendengar Riri selalu mengeluhkan hal yang sama setiap kali mereka bertemu. Tapi gadis itu tidak mungkin mengatakannya. Karena dia pun yakin, sahabatnya akan melakukan hal serupa jika ada di posisinya. Bukan akan, tapi memang dia melakukannya. Dulu dirinyalah yang sering mengeluh tentang kerasnya masa pendidikan, dan Riri-lah orang yang mendengarkan, menghibur, bahkan membantunya melewati masa-masa itu.

“Elo tahu nggak, May! Mana aja penyidik yang tugasnya bareng kertas melulu. Suruh ngetik sprin tugas, surat penghadapan, surat undangan, mungkin nantinya bakal disuruh nulis surat cinta kali.”

“Serius?”

“Kurang serius apa muka gue? Ya kali capek-capek pendidikan ujung-ujungnya jadi tukang ketik doang. Buat apa ada PNS? Kan yang kayak gitu-gitu bisa dilimpahin ke mereka.”

Maya hanya bisa mengulum senyum mendengar rengekan Riri. Dia tahu, sahabatnya itu bukan tidak bisa menyelesaikan semua tugasnya yang sekarang, tapi gadis itu sudah tidak tahan ingin beraksi. Dia ingin buru-buru mencari petunjuk tentang alasan ayahnya menghilang begitu saja.

“Terima kasih,” ucap Maya saat pesanannya diantar dan diletakkan di meja. Dia mengambil novelnya untuk memberi ruang. “Elo tahu, nggak? Di semua novel misteri, bahkan di cerita-cerita yang punya plot twist, penulisnya itu sudah menebar banyak clue sejak bab pertama,” terang Maya saat pramusaji meninggalkan meja mereka. “Saking rapinya penempatan petunjuk itu, pembaca sampai balik lagi baca dari halaman awal, setidaknya untuk memastikan benar atau tidaknya bagian anti klimaks.”

Riri diam. Memasang telinga sembari menyuap sepotong roti ke mulutnya. Dia memang sedang mendengarkan apa yang dibicarakan Maya, tapi dia pun masih mencari benang merah antara apa yang dia keluhkan dengan apa yang Maya bicarakan.

Maya ikut memasukkan satu suapan besar ke mulutnya. “Jadi, Ri,” katanya dengan mulut penuh.

Please, deh! Kunyah dulu yang bener, baru ngomong. Keselek baru tahu.”

Riri baru saja mengatupkan bibirnya ketika Maya terbatuk-batuk. Segera dia menyodorkan minuman yang ada. Maya menenggaknya sekali, lalu sekali lagi.

“Bener, kan!”

Maya mengeluarkan botol air dari tasnya, lalu menandaskan air putih yang tadi tersisa sepertiga. Gadis itu menghela napas panjang, kemudian mengembuskannya perlahan.

“Maksud omongan gue, elo nikmati dulu aja tugas yang elo dapet saat ini. Justru di saat-saat inilah elo bisa belajar banyak.”

“Maksudnya gimana?”

“Contohnya begini: Saat elo diminta untuk bikin surat undangan saksi ahli, elo bisa tanya-tanya ke penyidiknya, kenapa orang ini yang diundang? Atau waktu diminta registrasi barang bukti, elo bisa pelajari benda apa saja yang bisa dijadikan petunjuk sampai ditetapkan sebagai BB. Juga saat menyusun Perwabku, elo bisa tahu biaya apa saja yang bisa dimasukkan dalam anggaran. Bener, nggak?”

Riri manggut-manggut. Dia tidak menyangka Maya yang selama ini dikenalnya suka asal saat bicara, bisa membuka wawasannya sejauh ini. Apa yang dikatakannya barusan memang masuk akal.

You are my bestie, Maaaaay!” seru Riri sembari menyondongkan badannya, dan memberikan pelukan. “Itu otak encer banget sekarang. Gara-gara si Barista ganteng, apa gimana?”

“Sialan!” Maya menyuap paksa potongan besar roti ke mulut Riri.
Keduanya mulai membicarakan topik lain dan itu membuat Maya lega.

Sebenarnya Maya juga tidak menyangka apa yang diucapkannya sembarangan, malah bisa membuat pikiran Riri jadi terbuka. Baguslah. Cewek itu jadi nggak ngeluh lagi, pikirnya.

=================================

Di sini lagi ujan, Gengs, jadi gak bisa ke mana-mana. Untuk menemani kamu yang lagi di rumah aja, aku publish TKP nih.
.
Setuju deh ih sama si Maya. Sebelum kita mengeluhkan sesuatu, kita perlu melihat dari sudut lain dulu. Dan yakin kalau semua yang dipelajari akan berguna di waktu yang tepat.
.
Eh, tumben lhooo, author notenya kali ini lempeng. Hhaahaha. Wesslaaaah. Happy reading, Gengs.
.
Doakan ideku dan partner lancar biar bisa update tiap hari.
.
See yaaaaa

Tempat Kita PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang