Part 31

263 49 3
                                    

Written by : sabiqisedogawa21

Pagi-pagi betul, Riri membawa bungkusan plastik kecil yang ditemukannya semalam. Ia curiga kalau bungkusan itu berisikan tembakau gorila. Narkoba jenis tersebut sedang popular di kalangan para pemakai, karena hanya dua kali hisap sudah bisa melayang dan hilang kesadaran. Dan menurut penggunanya, akan muncul sensasi tak berdaya, seolah-olah sedang ditiban gorilla. Secara fisik, tembakau sintetis itu berwarna coklat, berbeda dengan ganja yang berwarna hijau dan lembap.

“Jadi gimana. Bang?” tanya Riri kepada Panda yang sedari tadi mendengarkan ceritanya mengenai asal muasal bungkusan kecil yang diletakkan di meja Panda.

Panda masih memperhatikan bungkusan kecil itu, lalu menatap wajah Riri dengan serius. “Lo harus buat LP. Kita sebagai penyidik atau anggota kepolisian, boleh membuat LP jenis A terhadap suatu kejadian atau peristiwa yang kita ketahui atau temukan secara langsung,” terang Panda, “kalau lo gak buat, nanti bisa jadi masalah,” lanjutnya.

Riri mengangguk. ”Jadi, gue buat LP dulu terus bawa BB ke Inafis?” ulangnya.  Riri memang penasaran siapa yang menaruh benda itu di pot depan rumahnya.

“Sebelumnya kita bawa ke subdit 4 dulu buat dicek dengan Kit Precusor untuk mengetahui jenis narkobanya apa. Baru nanti kita bawa ke lantai 12a untuk mencari sidik jari pelaku.” Panda menerangkan prosedur yang harus dilakukan.

Riri mengangguk. ”Berarti sekarang ke subdit 4 dulu. Temani ya, Bang,” pinta Riri yang disambut anggukkan seniornya.

Dari balik kaca, Priyo melihat Riri dan Panda berjalan beriringan. Mau kemana mereka? tanyanya dalam hati. Ia sering mendapati mereka sedang berbisik-bisik serius. Sangat mencurigakan. Diam-diam Priyo mengikuti mereka.

Priyo melihat keduanya sedang berada di salah satu kubikel staf subdit 4. Dia tahu betul, alasan seorang penyidik ke tempat ini. Kebanyakan untuk mengecek jenis narkoba yang belum mereka ketahui jenisnya atau diragukan.

Apakah Pak Herman tahu? Pikir Priyo. Ia memutuskan akan melaporkannya.
Herman membelalak ketika mendengar laporan Priyo. Ia mengelengkan kepala. Anak itu benar-benar menghabiskan kesabarannya. Herman menjatuhkan tubuhnya di kursi, lalu melonggarkan ikatan dasinya.

“Coba kamu bereskan, Yo!” perintah Herman dengan suara meninggi. 

Hari ini Herman merasa diteror. Jam sepuluh tadi, rekan bisnisnya menelepon, dan mengingatkan batas waktu yang sudah disepakati. Herman benar-benar lupa soal itu. Ia tersudut. Sekarang laporan Priyo tentang Riri yang berulah di belakangnya.
Anak itu benar-benar perlu diberi pelajaran. Bisa-bisanya mengerjakan semua sendiri tanpa melaporkannya. Jangan-jangan malah Ghanis tahu tentang hal ini.

“Siap, Dan, delapan enam!” jawab Priyo.

Suara lantangnya menyadarkan Herman dari lamunan. “Ghanis tahu soal ini?”

“Mungkin saja, Dan. Anak buah saya sering berjalan sendiri tanpa melaporkan kepada saya,” adu Priyo. Ini kesempatan bagus untuk menghentikan langkah ketiga anak itu, pikirnya.

Mata Herman menyipit. Rahangnya mengeras. “Tidak bisa seperti itu. Kamu harus pegang kendali terhadap mereka. APA PERLU SAYA BUBARKAN TIMSUS?!” seru Herman kesal.

Priyo diam. Dalam hatinya bersorak karena berhasil membuat Komandannya berang. Ia senang karena kesempatan untuk menjatuhkan Riri datang.

“Ya sudah selesaikan semuanya!” perintah Herman lagi. Priyo mengangguk dan keluar ruang kerja Herman dengan senyum culasnya. Kena Kau Ri!

*

Riri menerima amplop warna cokelat yang disodorkan staf  Inafis. “Terima kasih ya, Pak?” ucap Riri sambil tersenyum. Setelah staf itu pergi, ia langsung membukanya.

Tempat Kita PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang