Part 5

414 62 0
                                        

Written by San Hanna

Kalau saja Riri tidak memiliki tekad baja dan dukungan dari keluarga, mungkin dia menyerah. Suasana kerja yang sebelumnya hangat, jadi serba canggung. Apa mereka lupa, kalau status DPO belum tentu bersalah?

Riri menggelengkan kepalanya kuat-kuat untuk menghalau semua pikiran negatif. Dia butuh otak yang segar dan energi positif guna memecahkan teka-teki tersebut. Sebelum otaknya kembali bercabang, dia buru-buru meraih ponselnya dan mencari sebuah nama, lalu mulai menuliskan pesan.

Riri :
May! Gue bentar lagi kelar. Lo mau nungguin apa ketemuan di tempat biasa aja?

Tanda ceklis dua dalam aplikasi masih abu-abu, bahkan setelah sekian menit berlalu. Riri menutuskan untuk meneleponnya dan masih tidak ada respons. Mungkin Maya masih banyak kerjaan, pikirnya, lalu dia melanjutkan lagi tugasnya yang tersisa. Gadis itu sedang merapikan berkas terakhir saat sebuah pesan masuk.

Maya :
Bareng aja, Ri. Sori tadi gue lagi ‘bongkar muatan’, biar bisa diisi lebih banyak. mumpung dapet makan gratis. Hehehe.

Tepat saat Maya datang, Riri sudah merapikan mejanya dan sedang bersiap untuk pulang. Mereka berjalan bersisian, mulai dari keluar ruangan, di lift, sampai menuju parkiran. Awalnya mereka akan makan dan ngopi di salah satu kafe di mal, tapi berubah di detik-detik terakhir. Maya mengajak Riri untuk ke kedai kopi yang baru buka dan sedang digandrungi. Keduanya sama-sama mengendarai motor. Mereka beriringan dengan Maya yang memimpin jalan.

Mereka tiba di tujuan setelah tiga puluh menit perjalanan. Benar yang disebut Maya tentang tepat ini. Ramai. Keduanya kesulitan untuk memarkirkan kendaraan. Beruntung ada petugas parkir yang membantu mereka.

Riri mengedarkan pandangannya. Menurutnya tidak ada yang istimewa dari tempat ini. Dari luar, bangunan dua lantai yang berdiri di atas lahan 60m2 tampak seperti kafe pada umumnya. Tampilan yang instagramable dan wifi gratis, diyakini gadis itu menjadi daya tarik utamanya.

Terdengar dentingan kecil saat pintu kaca di dorong Maya. Aroma kopi yang memenuhi ruangan di lantai satu langsung menyergap hidung, begitu keduanya melangkah masuk. Suara riuh rendah ikut menyambut mereka.

Riri menyapu setiap sudut ruangan dengan matanya. Dia berhenti sejenak untuk membaca aneka quote yang dipajang di beberapa tempat. Namun pandangan Maya terpatri di tempat lain dan jelas bertolak belakang dengan sahabatnya. Riri memandang benda mati, sementara Maya terpaku melihat makhluk hidup yang sedang sibuk memainkan tuas-tuas dari mesin logam.

Seorang perempuan muda menghampiri. “Selamat malam dan selamat datang. Dine in atau take away, Kak?” tanyanya ramah.
Buru-buru Riri menyenggol Maya. Kalau dia yang jawab, sudah pasti dia memilih untuk membeli dan membawanya pulang.

“Eh? Apa?” Maya seperti orang kebingungan. Sikapnya jadi aneh sejak menginjakkan kaki di tempat ini.

“Kita take away aja, ya! Rame banget,” sahut Riri.

“Eh jangan dong. Makan di sinilah. Nggak enak kalau dibawa pulang. Makan di sini aja, Mbak. Oiya, non smoking, ya!” sambar Maya cepat. Dia mengedarkan matanya. “Di situ tuh, Mbak,” tunjuknya pada meja bundar yang sedang dibersihkan.

“Masih dibereskan, Kak. Mau menunggu atau di meja ujung yang sudah bersih?”

“Kami nunggu aja. Nggak lama, kan?”

Pramusaji tadi mengangguk pelan dan tersenyum, sedangkan Riri menggelengkan kepala.

Makin malam kafe ini semakin ramai, bahkan pengunjung rela antre demi bisa bersantap di sini, atau untuk melihat si barista tampan. Beruntung Riri dan Maya bisa mendapatkan meja tanpa perlu menunggu lama.

Tempat Kita PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang