Part 4

447 66 0
                                        

Written by sabiqisedogawa21

Avanza hitam metalik berhenti di depan sebuah rumah  berwarna hijau.  Laki-laki berkemeja biru kotak-kotak dengan  rambut brutch cut segera mencocokkan alamat dengan amplop coklat besar yang ia pegang.  Blok Aster H3, batinnya.

Laki-laki itu memandang rumah yang dikelilingi pagar tanaman. Taman kecil dengan beragam bunga-bunga yang ditata cantik di sekitar air terjun buatan, dengan undakan yang di desain seperti kayu yang terbelah. Sungguh menyegarkan dan adem rasanya berada di depan rumah ini. Rumah berlantai dua tersebut tampak sederhana untuk ukuran pejabat, bahkan di kompleks ini pun tampak seperti anomali  di antara rumah-rumah besar dan megah lainnya.

Pintu terbuka beberapa saat setelah ia mengetuk. Seraut wajah ramah  terpancar dari perempuan paruh baya yang berbalut daster batik berwarna merah marun.

“Assalamualaikum, Bunda, saya Rais dari kantor Bapak. Mau antar ini,”  sapa Rais penuh hormat. Tangan kanannya  mengangkat amplop cokelat besar yang sedari tadi ia pegang.

“Oh, Mas Rais. Mari masuk,” ajak Yashinta  ramah. Ia membuka pintu lebih lebar lagi supaya anak muda yang disebut Herman melalui telepon satu jam lalu, bisa masuk.

Rais duduk dengan netra yang memindai setiap sudut rumah. Ruangan yang tidak besar dengan hiasan dinding bergambar Masjid al Haram dan beberapa pigura foto berukuran 16R dan 12R, yang menggambarkan kehangatan keluarga pemilik rumah. Di sebelah kanan ruangan terdapat rak besar berisikan buku-buku, pernak-pernik hiasan dan pot-pot kecil  bunga yang terawat.  Ruangan ini tak kalah nyamannya dari taman hias di depan.

“Maaf, Mas Rais, hanya ada es teh dan pisang goreng. Ayo silakan diminum,” kata Yashinta mempersilahkan tamunya.

Rais tersipu, “Terima kasih, Bunda. Duh repot-repot sekali, Bun,” jawab Rais dengan mengambil cangkir isi es teh. Pemilik rumah seperti sangat memahami kalau udara hari ini sangat panas. “Begini Bunda, Rais diminta untuk antar surat ini,” terang Rais menyerahkan amplop coklat itu dengan penuh hati-hati.

“Surat apa Nak?”tanya Yashinta saat menerima amplop itu.

Rais tersenyum, “Rais tidak tahu  Bunda. Hanya diminta mengantarkannya. Oh ya Rais harus segera kembali ke kantor. Maafkan Rais harus undur diri,” jawab Rais lembut.

Yashinta mengangguk, “Baiklah. Terima kasih ya, Nak.”

Rais mencium tangan perempuan paruh baya di depannya dengan santun.  Sebelum akhirnya meninggalkan rumah seseorang yang sangat ia kagumi di kantor.

Yashinta segera membuka amplop itu. Ia penasaran sekali, karena tadi Herman hanya menyatakan ada berita perkembangan mengenai Ismawan, suaminya. Perlahan dibacanya selembar surat berkopstuk Direktorat tempat suaminya mengabdi selama ini.
Matanya terbelalak. Ia membaca ulang isi surat itu. Sedetik kemudian  butiran bening berjatuhan. Tak satu pun kata yang bisa ia ucapkan.

*

Riri menghentikan Honda Beat-nya di depan rumah. Segera ia membuka helm,  sambil matanya memandang rumah yang tampak tenang. Riri menuntun motor kesayangannya masuk ke garasi samping.

“Macet ya, Kak?” tegur Rinda  tiba-tiba sudah berdiri di dekatnya.

“Ya Allah, Dek! Bikin kaget aja!” seru Riri sambil memegang dadanya. Riri mengambil bungkusan berisi buah kesukaan Bunda dan Arinda, Adik semata wayangnya.

“Jeruk ya, Kak? Asik!” teriak Rinda dengan penuh semangat.  Rinda jingkrak-jingkrak  kesenangan.
Riri mengelus dada lagi. Duh punya adik sudah hampir jadi sarjana tapi kelakuan masih kaya anak-anak.  Riri masuk ke dalam diikuti adiknya yang menjinjing bungkusan.

Tempat Kita PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang