Part 33

296 53 0
                                        

Written by : sabiqisedogawa21

Riri: Gue jalan besok, May, Doakan Gue ya!

Maya sedang mengepak baju yang akan dibawanya berlibur, ketika pesan dari  Riri masuk ke ponselnya. Maya tertegun membayangkan Riri berangkat sendirian ke  Pulau Pantara, sementara dia belum pernah ke pulau itu. Ia mengenal Riri sebagai gadis yang memiliki pengendalian emosi yang cukup baik. Semangat dan daya juang yang tinggi memang beda dari orang lainnya. Namun, apakah dalam hal ini Riri masih bisa setenang biasanya? Hati Maya gelisah.
Seandainya Riri memiliki seseorang yang bisa menemaninya, mungkin Maya bisa sedikit tenang.

Tiba-tiba ingatannya jatuh pada sosok Ghanis Putra Jaya, atasan Riri yang akhir-akhir ini sering disebut namanya oleh Riri. Ia pernah beberapa kali bertemu dengan Ghanis. Pria dewasa itu terkesan pendiam dan dingin, tapi Maya bisa merasakan bahwa Ghanis orang yang sangat perhatian dengan semua anak buahnya. Maya tersenyum karena sudah menemukan siapa orang yang tepat untuk menemani Riri besok.

Maya kebingungan karena tidak memilki nomor telepon Ghanis. Tidak mungkin pula untuk memintanya pada Riri. Ia mencoba menanyakannya pada Panda, tapi ponselnya pun sulit dihubungi.Setelah nyaris putus asa, Maya teringat pada salah seorang temannya yang menjadi Spri Direktur tempat Riri bernaung. Dalam waktu singkat ia berhasil memperoleh nomor yang dibutuhkan. Segera Ia menghubungi Ghanis.

Hati Maya bersorak gembira ketika Ghanis menyanggupi untuk menemani Riri ke pulau tersebut. Maya terpaksa jujur pada Ghanis mengenai alasan Riri pergi ke tempat itu. Karena hal itu satu-satunya alasan yang terpikirkan Maya agar Ghanis menyetujui permintaannya.

Maya sempat merasa tak enak hati, setelah mengetahui Ghanis sedang cuti karena anaknya sakit. Karena dia tidak menanyakan apa pun saat telepon tersambung dan langsung memberitahu kondisi Riri. Yang membuat Maya bertambah tak enak, Ghanis langsung bersedia, dan dia pun menyakinkan bahwa anaknya bisa ditinggal karena sudah mulai membaik. Terlebih ada kakek dan neneknya.

Hati Maya pun lega. Ia baru membalas pesan Riri. “Keep it simple and smile, Ri,” tulisnya.

*

Suasana hiruk-pikuk di dermaga Marina sudah terasa sejak taksi yang ditumpangi Riri memasuki kawasan tersebut. Angin sejuk dan mentari pagi yang tersenyum ramah seakan mengisyaratkan bahwa alam semesta berpihak pada Riri.

Pukul 6.45 WIB, Riri sudah duduk di ruang tunggu. Ia mengenakan kemeja kotak-kotak warna biru laut, yang dipadukan dengan celana taktikal panjang berwarna cokelat. Kaca mata hitam dan topi koboi biru melengkapi penampilannya hari ini.  Sebuah Ransel sudah siap di samping duduknya.

Riri sengaja datang lebih pagi agar tidak terburu-buru.meskipun speedboat baru akan berangkat pukul delapan. Matanya terus menatap selembar tiket sekali jalan di tangan kanannya. Kemarin siang ia pun sudah memesan penginapan untuk dua malam di salah satu cottage. Jika diperlukan, ia akan menyewa kamar di rumah penduduk.

Informasi mengenai keberangkatan sudah diumumkan. Riri mengikuti petunjuk untuk menuju speedboat yang akan membawanya ke Pulau Pantara. Saat sedang mengantre, gadis itu terkejut lantaran melihat sosok yang dikenalnya. Ghanis.

Ghanis tersenyum kecil. Dengan santainya ia mendekat dan berdiri di samping Riri. Laki-laki itu menggunakan kaos berwarna cokelat dan celana taktical warna senada dengan ransel abu-abu di punggungnya. Ia menggunakan topi dan sendal jepit. 

“Hai, Ri,” sapanya. Riri yang masih tak percaya Ghanis ada di dekatnya, hanya terdiam.  “Ri,” panggil Ghanis lagi.

Riri menoleh dan belum sempat berkata, petugas sudah mengulurkan tangan untuk membantunya naik ke perahu. Kapasitas perahu cepat ini mencapai tiga puluh penumpang. Kursinya diatur dengan format dua-dua. Riri mengambil posisi di bagian depan.

Baru saja Riri meletakkan ranselnya di dekat kaki, seseorang mendekat dan langsung duduk di dekatnya. Riri tidak terlalu terkejut saat mengetahui siapa orang tersebut.

“Bapak mau ke Pantara juga?” tanya Riri dengan penuh keheranan.

Ghanis mengangguk. “Semalam Maya mengabarkan kalau kamu mau ke sana sendirian. Dia itu khawatir, makanya dia telepon saya,” jawab Ghanis santai.

Riri merutuki keputusan sahabatnya. Dasar Ember Bocor!

“Jangan marah sama sahabatmu. Dia begitu karena sangat menyayangimu,” ucap Ghanis seakan tahu apa yang ada di dalam pikiran Riri.

Riri mengela napas. “Maaf, ya! Bapak jadi repot.”

Ghanis tertawa kecil. “Tidak juga, saya malah senang,” balas Ghanis, “kebetulan saya juga sedang cuti. Sepertinya seru juga sepertinya sekalian liburan di pantai,” lanjutnya.

Awalnya mereka berbincang ringan di sela-sela menikmati pemandangan laut, tapi semakin lama keduanya lebih banyak diam. Guncangan hebat sepanjang perjalanan, membuat perut keduanya tidak nyaman. Bukan hanya mereka, penumpang lainnya pun memilih untuk tidur selama perjalanan. Di samping itu, tidak banyak yang bisa dilihat selain hamparan laut sejauh mata memandang.

Sesampainya di Pantara, semua penumpang berkumpul di tempat yang sudah disediakan. Rasa lelah hilang dalam sekejap setelah memandangi keindahan alam setempat. Riri langsung mengambil beberapa foto di salah satu spot. Ia menyudahinya ketika mendengar namanya dipanggil oleh petugas cottage tempatnya akan menginap.

“Apa masih ada kamar kosong?” tanya Ghanis kepada petugas.

“Sepertinya masih ada, Pak, tapi saya tidak tahu apakah masih ada yang single,” jawabnya.

Ghanis tersenyum. “Kamar jenis apa pun tidak masalah, yang penting bisa dipakai istirahat,” sahut Ghanis yang disambut anggukan kepala petugas.

Keduanya diantar petugas ke penginapan. Untungnya masih ada kamar yang tersisa untuk Ghanis. Bahkan kamarnya bersebelahan dengan milik Riri.

“Selamat beristirahat, Bapak-Ibu. Enjoy our Place,” kata petugas setelah mengantarkan mereka sampai di depan kamar.

Ghanis mengangguk dan memberikan tips kepada petugas tersebut. “Nanti berkabar ya kalau mau makan siang,” ucapnya pada Riri sebelum masuk ke C21.

Riri membuka pintu kamar C22. Ukuran kamarnya lumayan besar. Ada ranjang single dengan satu set sofa, lengkap dengan lemari dan rak menyimpan barang. Matanya terus menyusuri tiap sudut. Satu-satunya yang tidak ada hanyalah TV. Riri tertawa geli sendiri, karena menyadari bila orang berlibur ke Pulau dengan pantai yang sangat indah, sudah pasti tidak memerlukan TV.
.
Riri segera beranjak ke kamar mandi dan memeriksa kondisinya. Setelah dirasa aman dan semuanya berfungsi sebagaimana mestinya, barulah ia membaringkan tubuhnya di ranjang. Pemandangan laut terlihat dari posisi ia berbaring. Sungguh tempat yang menyenangkan.

Satu jam kemudian, Ghanis mengajak keluar untuk makan siang melalui pesan singkat. Mereka sepakat makan di luar cottage, sekalian menyusuri tempat-tempat sekitar. Begitu banyak spot bersantai di pulau ini. Terselip harapan dalam hati Riri bisa bertemu dengan sang Ayah di salah satu tempat tersebut.

Riri mengamati Ghanis yang tampak sedang berbincang dengan salah seorang penduduk. Laki-laki itu mudah bergaul dengan siapa saja. Lihat saja! Baru juga berbincang sebentar, seorang perempuan paruh baya yang kemungkinan adalah istri dari orang yang diajak bicara, memberinya satu sisir pisang.

Riri tertawa geli. Ingatannya melayang pada Panda yang pernah diberi buah tangan serupa oleh ibu-ibu ketika mencari alamat. Tiba-tiba ia ingat belum memberi kabar pada Maya dan Panda. Kalau untuk Maya, lebih tepatnya omelan, bukan kabar. Riri memutuskan untuk menundanya lagi.

“Ternyata Pantara itu ada dua, Ri. Kita di Pantara Timur dan satunya Pantara Barat,” terang Ghanis yang tiba-tiba duduk di sebelah Riri, “nanti kita kunjungi pulau satunya,” lanjut Ghanis, yang disambut anggukan kepala Riri.

Riri memandangi sekeliling. Hatinya berharap sosok Ayah tertangkap oleh netranya.

=================================

Tiga part dulu yaaaa. Besok lanjut lagi. Ngantuk berat, Gengs.

See yaaaa very-very soon.

Tempat Kita PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang