Part 25

274 57 1
                                    

Written by : San Hanna

Hal yang paling menyebalkan adalah ketika berusaha menghindari sesuatu, tapi nasib justru mendekatkannya. Itulah yang dirasakan Riri saat ini. Melalui Rinda, ibunya berpesan agar Riri pulang cepat dan makan malam di rumah. Bahkan Rinda memintanya untuk berjanji. Hampir dua pekan belakangan, Riri jarang makan di rumah.

Semua pekerjaannya sudah beres sejak pukul dua siang, tapi ketika jam di layar komputernya menunjukkan pukul 16.00, Riri baru bersiap untuk pulang. Itupun setelah Rinda meneleponnya lagi, memastikan kepulangannya. Sebelum beranjak meninggalkan ruangan, Riri masih menyempatkan diri menengok ke ruangan Ghanis.

Lalu lintas pun ikut berkonspirasi. Jalanan berubah ramah, hingga tidak butuh lama bagi Riri sampai di rumah. Padahal dia sudah berusaha memelankan laju motornya.

Yashinta bukannya tidak menyadari perubahan perilaku putri sulungnya. Justru karena dia curiga ada sesuatu yang berusaha ditutupinya. Sebagai ibu, tentu dia ingin segera mengorek informasi dari anaknya, tapi dia tidak akan melakukan itu. Dia tahu, semakin dicecar Riri akan semakin menghindar, jadi dia memutuskan untuk bersabar.

Ibu dua anak itu membiarkan putri sulungnya berada di kamar lebih lama usai tiba selepas maghrib tadi. Bahkan dia menahan Rinda untuk memanggilnya sampai tiba waktunya makan malam.

Yashinta semakin yakin ada disembunyikan Riri, karena gadis itu hanya menjawab semua pertanyaannya dengan kata-kata yang ambigu. Tapi dia masih terus menahan diri dan membiarkan keluarga kecilnya bersantap dengan nikmat.

Riri mengumpulkan peranti makan dan meletakkannya di tempat cuci piring, di mana Rinda menunggunya. Saat itu ibunya datang, menepuk bahunya, mengajak ke ruang kerja ayah. Riri berjalan pelan mengekor ibunya, sambil mengatur napas. Dia bisa menebak apa yang akan ditanyakan padanya.

Yashinta menepuk sisi di sebelahnya. Meminta Riri duduk di sana dengan gerakan tangan. Riri menurut. Dengan lembut Yashinta membelai kepala putrinya penuh perasaan tanpa berucap apa-apa. Sesuatu bergejolak dalam dada ibu dan anak itu, tapi keduanya masih membisu.

“Bun.”

“Nak.”

Ucap mereka berbarengan. Setelah itu keduanya saling meminta yang lainnya untuk bicara lebih dulu.

“Bunda duluan saja!” pinta Riri.

Yashinta tersenyum. Dia memulainya dengan berbasa-basi, bertanya tentang pekerjaannya. Saat mendapati putrinya hanya menjawab sekadarnya saja, dia tidak tersinggung. Dia sudah menduga hal itu. Riri menghela napas panjang, kemudian merebahkan kepalanya di pangkuan Yashinta.

“Bunda yakin, kamu pasti bisa menduga apa yang akan Bunda tanya. Iya, kan?” tanyanya sambil mengelus puncak kepala Riri. “Kamu tahu nggak, Nak? Belakangan ini Bunda memang merasa ada aneh dengan sikapmu. Tapi Bunda yakin kamu bisa menyelesaikannya dengan baik. Sadar atau tidak, kamu persis sekali dengan Ayah.  Dulu, dia selalu menyimpan semuanya sendiri. Jika mendapati kasus rumit, dia lebih suka menyendiri di sini, di ruangan ini, dengan posisi berbaring sama sepertimu.”

Riri buru-buru bangkit. Menatap mata bundanya sebentar kemudian menunduk. “Bun, maafin Riri, ya! Tapi benar kok, tidak ada masalah apa-apa di kantor. Soal kasus ayah, memang sedikit ada kendala. Mungkin karena Pak Priyo butuh adaptasi. Di samping itu, kasus tersebut juga sudah lama. Butuh usaha lebih banyak.”

Yashinta tertawa pelan. “Kenapa harus minta maaf, Nak? Kamu lupa, Bunda sudah membersamai seorang penyidik senior selama ini? Sebelum kamu terjun di kepolisian, Bunda sudah lebih dulu tahu.” Yashinta menunduk. mengecup kening putrinya. “Yang perlu kamu ingat, kamu masih punya Bunda, Rinda, dan rumah tempat kamu pulang.”

Riri bangun perlahan dan memutar tubuh menghadap sang Bunda. Kepalanya berdenyut dan matanya basah, kemudian dia menghambur dalam pelukan ibunya. “Doakan Riri, ya, Bun! Biar Riri bisa mengungkap kasus ini dan memulihkan nama Ayah. Riri juga berusaha menelusuri jejak Ayah agar bisa menemukannya.”

Sambil mengusap-usap punggungnya, Yashinta mengangguk pelan. “Doa Bunda tidak pernah putus untuk Ayah, kamu, dan Rinda. Bunda yakin kita bisa menghadapi semua ini, Nak.”

Malam makin larut dan Riri menyadari ibunya tampak lelah. “Sudah malam, Bun! Bunda istirahat, ya! Riri masih mau di sini dulu sebentar lagi. Riri sudah tidak apa-apa, Bun.”

Yashinta menggeleng. Dia bersikeras akan istirahat, jika putrinya itu istirahat juga. Akhirnya Riri mengalah. Keduanya berjalan beriringan dan berpisah di depan kamar ibunya. Dia pamit setelah meninggalkan sebuah ciuman selamat malam.

Di dalam kamar, alih-alih tidur Riri malah membuka berkas yang dia bawa. Dia bosan menunggu Priyo yang sangat lamban. Selain itu, di rumah dia bisa leluasa membuka buku catatan ayahnya. Dia pun bisa mencocokkan apa yang pernah ditemukan ayahnya dengan apa yang dia temukan.

Riri memindahkan beberapa catatan dalam buku miliknya, setelah menyelesaikan pekerjaan. Dia membaca ulang setiap tulisan ayahnya. Matanya yang semula sayup lantaran menahan kantuk, langsung terang begitu membaca kalimat terakhir. Dia menegakkan tubuhnya, mengatur posisi guna memastikan apa yang tertulis di sana.

Dia berdiri dengan jantung berpacu dan napas memburu. Matanya membelalak dan tangannya bergetar. Kakinya terasa lemas hingga dia jatuh terduduk di pinggir ranjangnya. Buku di tangannya jatuh dan tergeleletak begitu saja.

“Ayah curiga ada musuh dalam selimut. Ayah mencurigai seseorang dalam timnya yang berkhianat.” Riri memutar matanya tak tentu arah, seperti orang kebingungan. “Siapa orang itu, Yah?” gumamnya.

Pikiran gadis itu memproyeksikan banyak hal. Tapi dia semakin yakin ayahnya tidak bersalah. Ayahnya dijebak si pengkhianat. Semangat Riri kembali berkobar. Dia tidak lagi memusingkan Priyo. Persetan jika orang itu mau berlama-lama. Jika dia tidak bisa diajak bekerja sama, Riri akan menggunakan cara lain untuk mengungkapkan kasusnya.

Tiba-tiba saja beberapa dugaan terlintas di kepalanya. Gadis itu mengaitkan kejadian yang dialaminya belakangan ini. Herman yang terkesan ingin menghambat penyelidikan, Priyo yang jelas-jelas tidak ingin menyelesaikan kasus, dan yang membuat Riri gelisah adalah kemungkinan Ghanis juga ikut terlibat.

Apa yang diketahuinya membuat Riri bertanya-tanya tentang motif semua orang yang pernah terlibat, terutama Herman dan Ghanis. Dadanya sesak hanya menyebutkan nama-nama itu.

*

Riri yang ingin bersikap biasa, nyatanya tidak bisa. Perilakunya kentara sekali berbeda dari biasa. Panda adalah orang pertama yang menyadarinya. Lelaki itu mengira perubahan Riri berkaitan dengan Ghanis. Hubungan keduanya yang sempat dekat, tiba-tiba renggang, lalu muncul Sprin yang membuat mereka lebih jauh lagi. Yang tidak diketahui Panda adalah, Riri mengalami krisis kepercayaan pada orang-orang di sekitarnya, sejak malam itu.

Riri berusaha terus menyelidiki setiap kemungkinan yang bisa ditelusurinya tanpa melibatkan orang lain. Sayang dia tidak bisa menemukan apa-apa. Pikirannya terbagi hingga dia kehilangan fokus.

=================================

akhirnya bisa setor dua part lagi. (Padahal yang kutulis cuman 1 part, sisanya partner. 🤣🤣🤣)

Tapi kan tetep aja, di akun ini aku update 2 part.

Ingat peraturan (ngaco) ini.
1. Author tidak pernah salah.
2. Jika author salah, lihat nomor 1

Wakakakakaka.

Happy reading, Gengs.

See yaaaa very-very soon.

Tempat Kita PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang