Part 34

308 54 2
                                    

Written by : sabiqisedogawa21

Duduk bersila beralaskan pasir ditemani ombak yang bergulung di kejauhan, adalah saat-saat yang menyenangkan. Sesekali Riri mencari kerang untuk dijadikan hiasan kamarnya di rumah. Ia merasa beruntung tadi memutuskan untuk menyusuri pantai sendirian, lalu duduk di sini, menunggu matahari tenggelam.

Sebuah perjalanan tidak selalu mencapai tujuan. Namun sejauh kakinya melangkah sampai ke sini, rasanya bertemu dengan Ayah adalah sebuah perjalanan panjang yang tak kenal lelah. Bila tujuan itu tidak tercapai, paling tidak ia sudah berusaha. Riri menyadari hal itu.

Wajah Ibu dan Rinda adalah penyemagat untuk sampai ke titik akhir. Ia tidak tahu kapan dan di mana titik tersebut, gadis itu hanya bisa terus melangkah dan berusaha. 
Ayah, di manakah dirimu? Benarkah Ayah berada di pulau ini? lirihnya.

“Mbak! ini untuk Mbak.” Tiba-tiba terdengar suara seseorang menyapanya.

Riri melihat perempuan muda menyodorkan batok kelapa yang sudah dibuka dan diberi sedotan. Riri mengernyitkan kening. Ia tidak merasa memesan. Seperti mengetahui apa yang dipikirkannya, perempuan muda itu menunjuk ke arah seseorang yang sedang berdiri di kursi malas yang tersebar di sepanjang pantai ini. Ghanis mengangkat gelas minumannya seakan melambai padanya.

Riri mengangguk. “Terima kasih, Mbak,” balasnya.

Perempuan muda itu tersenyum dan berkata sebelum pergi. “Masnya ganteng Mbak. Perhatian lagi.”

Riri melongo, tapi kemudian melempar tawa. Ada-ada saja! Dia berbalik menatap laut lepas sembari menyeruput air kelapa muda. Hingga tidak menyadari ada seseorang yang mendekat.

“Indah, ya?”

Seseorang bermata teduh, duduk di sebelahnya. Sama seperti dirinya, laki laki itu tidak merasa perlu mencari alas duduk. Orang itu menyerahkan jaket yang dipegangnya kepada Riri.
“Pakailah! Angin malam tidak baik untuk kesehatan.”

Riri mengangguk dan segera mengenakannya. Ghanis tersenyum puas.

“Maafkan saya, ya, Pak! Javas sedang sakit, tapi Bapak malah menemani saya ke pulau,” kata Riri memecahkan jeda yang cukup lama di antara mereka.

Ghanis menoleh. “Kayak Lebaran aja, minta maap terus,” ucapnya dengan dialek betawi.

Riri tertawa. Akhir-akhir ini atasannya memang sering bercanda walau terkesan garing. Angin laut meniup anak rambut gadis itu sampai menutupi matanya. Dia hendak menyibaknya, tapi kalah cepat. Ghanis sudah lebih dulu melakukannya. Dengan begitu lembut, lelaki itu menyelipkan rambut Riri ke telinga gadis itu.

Riri merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia tidak menyangka Ghanis akan melakukan hal itu. Ditambah momen matahari tenggelam lengkap dengan sinar jingganya, membuat dua insan itu saling memandang.

Tiba-tiba terdengar deru ombak yang cukup besar dan menyadarkan mereka yang sedang larut dalam suasana di senja yang indah. Riri memalingkan wajahnya yang dia yakini sedang memerah.

“Sudah malam. Yuk! Pindah ke kamar!” ajak Ghanis. Riri merasa aneh dengan kata-kata itu, lalu menatapnya heran. Ghanis tersadar dengan kata-katanya. “Maksud saya, kita kembali ke penginapan, terus ke kamar,” sahut Ghanis. Riri masih memberikan tatapan anehnya. Ghanis buru-buru menambahkan, “Kamar masing-masing.” Ia mendahului Riri sembari merutuki dirinya yang terus-terusan salah bicara.

Riri menatap punggung Ghanis yang berjalan di depannya. Ia tersenyum lebar. Ghanis lucu juga kalau lagi gugup, batinnya. Entah mengapa setelah merasakan ketulusan hati Ghanis, ia ingin kembali mempercayainya seperti dulu, bahkan mungkin lebih.

Tempat Kita PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang