Part 14

304 58 1
                                        

Written by : sabiqisedogawa21

Riri mengaruk kepalanya yang tidak gatal. Sudah tiga kali dibaca ulang halaman  buku milik ayahnya. Kenapa ada nama Herman di catatan ayah? Hatinya berdesir  pada kemungkinan kalau nama itu adalah orang yang memiliki wewenang di subditnya.

Banyak kata tanya dalam benak dan hatinya selama ini, dan catatan ayahnya menjadi penuntun baginya untuk menemukan satu per satu petunjuk yang bagai mozaik. Ia penasaran dengan tulisan ayahnya tentang rencana penangkapan atau penggerebekan yang seringkali mengalami kegagalan. Ia penasaran dengan kecurigaan ayahnya terhadap orang-orang di kantor. Dan nama yang tersebut dalam halaman-halaman berikutnya adalah nama Herman. Benarkah itu Pak Herman yang disegani di sini? Apa hanya kesamaan nama?

Riri menutup buku berwarna abu-abu yang sengaja ia beri sampul lagi warna coklat, karena ia tidak ingin orang di kantor mengenali buku itu. Pastinya banyak yang pernah melihat ayahnya memegang buku itu. Banyak hal yang ingin ia gali dari catatan tersebut. Seperti mengapa kasus yang terakhir ditangani ayahnya dihentikan?

Ia sudah mencari tahu mengenai hal itu. Namun ia merasa masih ada yang terselubung yang belum benar-benar secara jelas bisa ia pahami.

Di salah satu arsip yang ia temukan, disebutkan ayahnya menangani kasus yang sama  dengan Herman, yaitu terkait dugaan money laundry harta tersangka yang diduga pengedar narkotika. Ayahnya yang bekerja di subdit asset mengusut terkait  perolehan harta atau aliran dana, sedangkan Herman melihat dari kepemilikan dan pengedaran narkotika.

Riri merasa harus bertanya, tapi tak tahu dengan siapa. Panda? Ia tidak yakin Panda bisa membantunya. Ghanis? atasan langsungnya itu sebenarnya bisa membantu, tapi entah mengapa kadang Riri merasa agak segan terhadap Ghanis. Apa mungkin karena Ghanis orang pertama yang ia temui saat Pusdik atau karena dulu Ghanis adalah isntrukturnya  dan sekarang atasan langsung? Entah.
Apa ia harus bertanya pada Herman?

Riri berpikir sejenak. Menghitung persentase keberhasilan langkah yang akan diambil.  Riri tersenyum dan memutuskan untuk bertanya pada Herman besok. Banyak jalan menuju roma.  Tidak mendapatkan informasi dari Ghanis, ia harus bisa mengorek informasi dari Herman.

*

Menjelang makan siang, Riri melihat pintu ruang kerja Herman tertutup rapat, meskipun ia tahu beliau ada diruangannya. Riri sempat ragu untuk mengetuk  pintu sampai akhirnya ia pun mengetuk.

“Masuk,“ suara lantang dari dalam ruangan terdengar, Riri mendorong pintu dan terlihat di dalam ruangan, Herman sedang membaca koran.
“Eh kamu, Ri, ayo masuk!” sapa Herman sambil melipat koran.

“Siap, Dan,” sahut Riri sambil mengangkat tangannya.

Herman memperhatikan gadis yang bernama Arina Prameswari, penyidik muda yang mendatanginya. Riri terlihat cantik dan fresh dengan kemeja warna hijau lumut. “Ada apa, Ri? Apa yang bisa saya bantu?” tanya Herman.

Riri mengangguk, “ Izin, Dan, maaf saya menganggu.”

Herman tertawa, “Gak kok. Ayo ada apa?” ulang Herman.  Ia melihat gestur Riri yang seperti kurang nyaman.

Riri mengangguk, “Siap, Dan. Mohon izin sebelumnya. Ini sebenarnya pertanyaan pribadi, Dan. Kalau Komandan berkenan, saya mau tanya bagaimana dengan penanganan LP nomor 235,” jelas Riri.

Herman terkejut mendengar kata-kata Riri. Itu LP yang dulu ditangani oleh Ismawan Mahardika.  Herman menganti posisi duduknya sambil menatap wajah Riri yang serius menunggu penjelasannya. “Hmm. Nanti saya cek dulu ya, Ri. Bagaimana kalau nanti sore, kamu datang lagi ke sini?” ucap Herman cepat.

Riri mengangguk. “Siap, Dan. Nanti saya ke sini lagi,” balasnya sambil berdiri dan mohon pamit. Herman mengantarkan Riri sampai depan pintu.

Herman menggelangkan kepala. Ini sungguh mengejutkan karena tiba-tiba Riri mempertanyakan kasus itu.  Sebanyak apa yang anak itu ketahui? pikirnya. Herman  mengambil tisu lalu menghapus keringat yang tiba-tiba bermunculan di keningnya. 

Sementara di luar ruangan Herman, Riri mengela napas panjang lalu menggenggam tangan kanan, pertanda ia sedang menyemangati diri sendiri. Ia pun melangkah menuju mejanya.

*

Sore harinya, Panda berdiri di depan kubikel Riri ketika gadis itu tengah menyusun laporan.  “Ri,” sapa Panda, “kamu dipanggil Pak Herman,” lanjut Panda.

Segera Riri menyimpan file dan menutupnya. “Terima kasih, Bang,” balas Riri sambil berjalan menuju ruangan Kasubditnya.

Panda heran menatapi kepergian gadis itu. Sepertinya ada yang ia sembunyikan karena tidak seperti biasanya.

Riri mengetuk pintu dan masuk dengan sopan. Ia melihat atasannya sedang berdiri menatap pemadangan dari balik jendelanya. Riri duduk dengan sabar menunggu apa yang akan dibicarakan Komandannya sesuai janjinya tadi siang.

Herman mengambil satu map dan menyerahkan kepada Riri. “Itu hasil investigasi yang dikerjakan kami saat itu,” ujarnya pelan.

Riri mengambil map warna merah dari tangan Herman dan mulai membukanya. Ada lembaran laporan dengan foto-foto.

“Sebelum ayahmu menghilang, dia nyaris menangkap TO dan entah bagaimana  saat sampai di TKP,  target sudah kabur. Namun ada satu yang tertangkap,” terang Herman.

“Yang ditangkap itu sekarang di mana, Pak? Ada di penjara mana?” tanya Riri.

Herman menggelang, “Bebas,” jawab Herma singkat.

Riri mengerutkan keningnya, “Kok bisa, Pak?” tanya Riri lagi yang kemudian dijawab Herman dengan memberikan lembaran. “Apa itu, Pak?”

“Itu bukti kalau tersangka tidak bersalah,” terang Herman. Kata-kata Herman membuat Riri segera membaca hasil dari laboratorium milik tersangka. “Karena hasil lab negatif dan ada surat jaminan dari keluaga,” lanjut Herman lagi.

Riri mengangguk, ”Jadi kesimpulannya, Jack hanya berada di tempat yang salah, gitu, Dan? Karena sebenarnya dia tidak terlibat.”

Herman mengangguk. “Ya, dan kasus ini ditutup karena dianggap tidak mengandung unsur pidana. Tidak ada korelasinya.”

“Kalau ada bukti baru, kasus tersebut bisa dibuka kembali?” tanya Riri. Matanya menatap wajah Kasubditnya. Tampak sekali keterkejutan di mata atasannya.

“Apa ada bukti baru?” tanya Herman penuh keheranan.

“Ya, belum tahu, Dan. Hanya misalkan ada, apakah bisa?” balas Riri dengan ekpresi terseyum yang ditahan.

“Oh, ya bisa. Namun lewat keputusan gelar,” jawab Herman, “Kamu tidak  perlu resah. Nanti saya kabari setiap ada perkembangannya,” lanjutnya.

Riri mengangguk, “Siap, Dan. Saya pamit.”

“Ok kamu tenang saja. Bekerja dengan serius aja. Ada yang masih terus bekerja untuk membuktikan Pak Ismawan ada di mana.”

“Baik, Dan,  Terima kasih. Izin, Dan,” pamit ulang Riri. Di depan pintu ruangan Pak Herman, Ia menghela napas. Benarkah seperti ini, Yah? Bisiknya dalam hati.

*

Sementara itu di sebuah tempat, seseorang sedang menekan tombol satu dan ketieka terdengar suara di sebrang, ia langsung berbicara “Anak Kelinci datang dan bertanya tentang wortel Ayah Kelinci.”

“Gak mau tahu gue, Anak Kelinci itu urusan lo. Lo yang harus bisa selesaikan sendiri. Daripada urus Anak Kelinci, kau punya lapak. Jangan kau lupakanlah.”

“Iya. Entar malam gue ke sana,” jawab laki-laki itu dengan sedikit enggan. Karena lawan bicaranya seperti menekannya.

Terlebih ketika terdengar, “Gue udah bayar lo mahal!”

Laki-laki itu segera mematikan  ponselnya dan melempar dengan gemas, ponsel sejuta umat yang masih dia gunakan kalau sedang berhubungan dengan rekan kerjanya.
Ia mengacak-acak rambutnya sendiri. “Sialan!” teriaknya.

Tempat Kita PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang