Part 10

352 59 0
                                        

Written by : sabiqisedogawa21

Ghanis membelokkan Avansa hitamnya ke arah kanan ketika sampai di pertigaan pertama setelah keluar pintu tol  sirkuit Sentul. Kira-kira memakan waktu lima belas menit, sampailah mereka di depan gapura besar yang bertuliskan Pusat Laboratorium Forensik. Sekitar tiga ratus meter menuju gedung, terlihat tanah luas yang masih kosong dengan satu dua pohon di sisi jalan.

Gedung utama berlantai tiga dengan kaca menjadi dinding keseluruhan gedung tampak kokoh berdiri. Bentuknya unik karena lobby berada di sudut  huruf L dengan lantai paling atas tepat di atasnya melengkung.  Seperti sudut segitia siku-siku.

Ghanis mengarahkan mobilnya ke parkiran. Parkiran gedung ini sangat luas, dengan pemandangan berupa deretan rumah dan flat berlantai delapan, yang digunakan  untuk seluruh personil. Ghanis melihat ada saung kecil yang terbuat dari bambu, yang sepertinya digunakan untuk anggota bersantai.

Tepat beberapa langkah meninggalkan parkiran, ponsel Ghanis berdering.  Nama Kompol Fadlian tertera di layar, orang yang akan ia temui di gedung ini.

“Ya, Gue sudah di parkiran. Bentar lagi,” sahut Ghanis  sambil menutup ponsel dan berjalann menuju gedung.

Beberapa detik kemudian ia menoleh, sosok anggota unit reskrim yang mendampinginya sedari mapolsek, terlihat masih mengikuti di belakangnya. Ghanis menunggu laki-laki itu mendekat dan melangkah bersama menuju lobby.

Di depan pintu gedung kaca telah berdiri seorang laki-laki berusia sekitar 40-an. Laki-laki itu mengenakan kemeja warna biru muda berlambangkan institusi di dada kiri.

“Hai, Bro,” sapa Fadlian dengan suara sedikit meninggi dan langsung mendekati Ghanis dan Hidayat.  Fadlian merangkul Ghanis dengan penuh rasa rindu. Sudah lama ia tak berjumpa dengan sahabat satu barak saat pendidikan dulu, “Gue turut berduka cita ya, Bro,” lanjutnya.

Ghanis mengangguk dan membalas pelukan sahabatnya yang diakhiri dengan saling mendekatkan kepala dan tangan mengepal yang saling silang bersentuhan. Cara bersapa ala anggota yang saling mengenal.

“Eh, ini Ipda Hidayat dari unit reskrim Polsek Pasar Minggu.” kata Ghanis memperkenalkan Hidayat kepada Fadlian.

Hidayat menegakkan tubuhnya dan mengangkat tangannya, “Siap, Dan,” ucapnya sambil menyalami lelaki di depannya yang sudah pasti lebih tinggi  pangkat darinya.

“Ayo ke ruangan gue,” ajak Fadlian ke dalam  gedung.  Mereka menuju lift yang berada di sebelah kiri. Hidayat berjalan paling belakang dengan matanya yang masih memperhatikan lantai satu yang terasa lapang dan dingin.

Hanya memakan waktu lima menit untuk sampai ke ruang kerja Fadlian yang berada di lantai dua. Fadlian langsung mempersilakan tamunya duduk di sofa ruang kerjanya, sementara ia memanggil stafnya untuk menyiapkan kopi hitam tanpa gula kesukaan Ghanis dan kopi biasa untuk Hidayat. Ia baru mengenalnya sehingga lebih baik ia meminta untuk dibuatkan kopi biasa.

“Ruangan lo nyaman juga, Bro,” ucap Ghanis masih memindai ruang kerja yang terasa lapang karena tidak banyak furnitur, dan jendela kaca besar di belakang meja kerja sahabatnya. Terasa menyejukkan karena yang terlihat bukan mobil yang lalu lalang, tapi pemandangan Gunung Pangrango yang tampak  dari kejauhan.

Suara tawa milik Fadlian terdengar, “Bisa aja lo,” sahutnya sambil mengambil berkas di meja kerjanya.
“Jadi gimana? Apa yang bisa gue bantu. Maaf lo datang jauh-jauh, bukan untuk menilai ruang kerja gue kan?” tanya Fadlian sambil melempar canda sedikit. Ia tahu sahabatnya butuh suasana lebih santai, plus perwira di sampingnya yang tampak agak tegang sedari tadi.

Tempat Kita PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang