Part 32

273 53 0
                                        

Written by : sabiqisedogawa21

Sebuah pesan dari Maya mampir di ponselnya, ketika Riri sedang menutup windows di komputer. Bibirnya melengkung karena Maya mengajaknya bertemu di  tempat biasa.  Segera Riri membereskan mejanya. Sebelum  meninggalkan  ruangan,  gadis itu mendekati Panda yang sedang bercanda dengan Heri di kubikelnya.

“Bang, aku duluan, ya,” pamit Riri.

Panda menatapnya penuh keheranan.  Ia melirik Swatch di tangannya. “Baru juga jam empat, Ri. Tumben,” ucap Panda. Ia memperhatikan wajah juniornya yang tampak bersinar cerah.

Riri mengangguk. “Ada urusan Bang,” balasnya kemudian.

Panda mengangguk. “Hati-hati, ya! Jangan kangen aku,” godanya yang dibalas dengan kepalan tangan Riri. Panda tertawa.

Setelah mengendarai Beatnya selama lima belas menit, sampailah Riri di kafe langganannya dan Maya. Aroma khas kopi menguasai penciumannya begitu pintu kafe terbuka. Matanya mencari sosok sahabatnya yang katanya sudah berada di tempat ini. Riri melihat seorang perempuan duduk di pojok. Di mejanya tersedia segelas frapuchino. Tangannya memegang novel, tapi matanya mengarah ke tempat lain. Tepatnya ke balik mesin pembuat kopi, di mana barista idolanya, sedang memainkan tuas-tuas mesin.

“Dasar ganjen,” gumam Riri sembari mendekat.

“Hai, Honey,” sapa Maya begitu menyadari Riri berada di depannya.

Setelah saling memberi pelukan hangat, Riri menggeser kursi di sebelah Maya, kemudian langsung memanggil pelayan untuk memesan mochaccino dan roti bakar rasa strawberry.

“Gimana kabar lo? Sombong banget gak pernah main ke lantai sembilan lagi,” ucap Maya sambil menatap tepat di bola mata sahabatnya.

Riri tersenyum. “Sibuk gue. Lo tau sendiri, banyak banget sekarang tuh ekor ganjil.”

Maya mengangguk. “Alhamdulilah. Sukses ya, Ri,” sahutnya dengan nada gembira. Pramusaji menghampiri mereka dengan membawa pesanan. Riri langsung menyesap minuman favoritnya sambil mendorong piring berisi roti bakar ke arah Maya.

“Menurut Lo kalau Gue ambil cuti gimana? Pak Herman nyuruh gue cuti, karena kinerja gue dinilai menurun,” terang Riri sambil mengambil sepotong roti bakar.

“Bagus tuh! Lo ikut gue aja ke Puncak. Ada villa keluarga di sana. Lumayan buat refreshing. Lo buruan urus cutinya. Kapan lagi liburan bareng?”

Riri mengangguk. ”Ya udah, nanti Gue langsung ke subbagrenmin. Kira-kira kalau ambil cuti maksimal berapa hari ya? Tadi Pak Herman nyuruh Gue ambil maksimal, biar pas balik ke kantor, sudah refresh lagi katanya.”

“Cuti tahunan kita dua belas hari.  Kalau dipotong cuti bersama ya bisalah kita cuti lima atau tujuh hari,” balas Maya.

Riri tersenyum sambil manggut-manggut. “6, kita ke Puncak berapa hari?” tanyanya lagi sambil melirik roti bakarnya yang ternyata sudah tandas.

“Kalau gue sih maunya lima  hari lah di sana. Samain aja gimana?”
Riri mengangguk.
“Emang elo ada masalah apa lagi? Kok sampai Pak Herman menilai kinerja lo menurun?”

Riri menghela napas panjang. “Setelah kasus Ayah dibuka kembali, timsus belum menemukan hasil yang signifikan. Sudah ada beberapa BB, tapi seperti ada missing link. Ditambah sejak Pak Priyo jadi katim, semuanya jadi terasa lambat banget. Kami kayak jalan ditempat,” keluh Riri, sementara Maya mendengarkan dengan penuh perhatian.

“Yang paling buat gue shock adalah ketika Pak Herman kasih foto Ayah. Di foto itu sepertinya Ayah ada di sebuah pulau di Kepulauan Seribu,” ucap Riri dengan nada sendu.

Tempat Kita PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang