Part 36

310 58 1
                                    

Written by : San Hanna

Riri tidak dapat menyembunyikan perasaannya lagi, tatkala melihat sosok seorang pria yang berdiri di hadapannya. Meski sebagian wajahnya tertutupi daun pintu yang baru dibuka setengah, gadis itu tahu betul siapa yang sedang berhadapan dengannya. Bibirnya bergetar. Dia tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Air matanya jatuh begitu saja.

Berbeda dengan Riri yang tampak emosional, pria yang bersembunyi di balik pintu justru buru-buru ingin menutupnya lagi. Beruntung Ghanis sigap dan berhasil menahannya. Kejutan ganda bagi orang itu.

“Ayah,” panggil Riri dengan lirih, nyaris tak terdengar. “Ayah.” Hanya kata itu yang lolos dari bibirnya. Air matanya kini menganak sungai di pipinya yang memerah.

“Mas Ismawan, tolong keluar sebentar. Kami perlu bicara,” timpal Ghanis.

“Maaf. Saya Dika, bukan Ismawan, dan saya tidak kenal kalian. Mungkin kalian salah alamat.”

“Jika Bapak bukan ayah saya, kenapa tidak berani keluar?” tiba-tiba Riri buka suara. Meski suaranya masih bergetar, dia mulai bisa mengendalikan emosinya. “Siapa pun Anda, kami ingin bicara sebentar. Kami ingin memesan puding kelapa yang biasanya diantar ke resort,” terang Riri.

Ghanis diam. Mencerna apa maksud dari percakapan ini. Apa pun maksudnya, omongan Riri berhasil membuat pintu terbuka lebih lebar. Riri dan Ghanis terkesiap, saat mendapati seorang perempuan berusia lima puluhan akhir, sudah berdiri di belakang orang yang mengaku Dika.

“Lho! Tamunya nggak disuruh masuk?” tanya perempuan itu pada lelaki di dekatnya. “Saya dengar mau pesan puding kelapa, ya?”

Dika berdeham. “Iya. Mereka masih tanya-tanya. Saya akan menjelaskannya dulu,” sahutnya.

“Ya nggak apa-apa. Tetap di suruh masuk saja.” Perempuan itu melihat ke Riri dan Ghanis bergantian. “Ayo! Mari masuk,” tawarnya. “Silakan duduk dulu. Saya akan buatkan minuman.”

“Di luar saja, Mbak,” ucap Dika buru-buru. “Lebih enak di luar. Banyak angin.”

Dika memimpin jalan menuju sisi rumah. Di sana terdapat panggung kecil yang terbuat dari bambu dan beratapkan daun kelapa kering. Ke sanalah Dika mengajak tamu-tamunya.

Ghanis meraih tangan Riri yang gemetar, berusaha mentransfer ketenangan pada gadis itu. Dia memberi anggukan pelan ketika Riri melihatnya. Sama seperti Riri, dia pun yakin kalau orang tersebut adalah Ismawan Mahardika.

Belum sempat orang tadi naik ke atas panggung, Riri keburu memeluknya. Air matanya tumpah seperti air bah. “Mau menyangkal seperti apa pun, Riri tahu ini Ayah,” ucapnya disela-sela isak tangis. “Jangankan ganti potongan rambut, Ayah ganti wajah pun Riri tetap bisa mengenali Ayah.”

Dika berusaha melepaskan diri dari pelukan gadis itu. “Maaf, tapi saya ....”

“Cukup, Yah!” Riri melepaskan diri.

“Ri,” panggil Ghanis, berusaha menenangkannya.

“Riri, Bunda, dan Rinda, yakin kalau Ayah masih hidup, meski banyak orang meminta kami untuk mengikhlaskan kepergian Ayah. Dengan berpegang pada keyakinan itu, Riri terus berusaha untuk jadi penyidik seperti Ayah. Riri sekarang Penyidik, Yah! Riri yakin ada salah. Makanya Riri berusaha keras untuk mencari Ayah. Memulihkan nama Ayah.”

Riri merogoh tas ranselnya, mencari sesuatu. “Ini!” Gadis itu mengacungkan buku bersampul abu-abu. “Berkat buku ini, Riri bisa membuka lagi kasus terakhir Ayah dan Pak Ghanis. Dari buku ini, Riri yakin Ayah tidak bersalah. Karena buku ini, Riri akhirnya bisa sampai di sini, meski harus melewati banyak peristiwa. Apa Ayah masih mau menyangkal?” Riri melempar buku itu ke dekat Dika, dan tangis Riri pecah.

Tempat Kita PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang