Part 3

470 70 2
                                    

Written by : San Hanna

Matahari sudah condong ke barat saat Riri menyusuri jalan usai mengurus berkas administrasi. Dia menuju sebuah tempat yang sering diceritakan ayahnya. Jeli bagai rajawali. Tangkas bagai macan kumbang. Tangguh bagai batu karang, lafal Riri dalam hati saat memandang lanskap taman.

Dulu dia hanya mendengarkan ayahnya bercerita, sekarang gadis itu bisa melihatnya langsung. Batu karang menghiasai tebing miniatur air terjun. Di sana juga ada patung rajawali dengan sayap terkembang dan mata tajam mengintai, dan di depannya terdapat macan kumbang dari batu yang tampak siap menerkam.

Ditempat yang paling sering dijadikan latar foto para peserta didik itulah, Riri teringat tentang status ayahnya yang beredar di grup kantor. Sudah pasti dia sangat terpukul dengan berita tersebut. Bagaimana tidak, ayah yang selama ini tidak diketahui keberadaannya, tiba-tiba masuk DPO. Berita itu jelas tidak ingin dipercayainya.

Di mata Riri, ayahnya adalah petugas yang sangat berdedikasi. Tidak mungkin dia berbuat begitu. Dia juga selalu mengajari keluarganya untuk hidup sederhana, dan memastikan apa yang masuk ke dalam badan keluarganya, hanya berasal dari sumber yang halal. Bahkan rumah yang mereka tempati berasal dari warisan kakek dan nenek. Mereka hanya merenovasinya karena kedua anak-anaknya sudah dewasa. Jadi, bagaimana mungkin tuduhan itu bisa dilayangkan padanya?

Tangan Riri mengepal dan rahangnya mengeras lantaran menahan marah. Sebutir air mata lolos begitu saja sampai ke pipi. Disekanya buru-buru saat melihat beberapa orang melintasi jalan di sampingnya.

Ada seorang lainnya yang berdiri tidak jauh dari tempat Riri dan sedang mengamatinya. Tentu saja hal itu tidak disadari oleh sang gadis. Semula lelaki itu hanya ingin mengenang masa-masa di mana dirinya menjadi peserta pendidikan dengan menapak tilas. Tapi dia malah mendapati seorang gadis melamun sendirian. Lelaki tersebut tidak bisa melihat dengan jelas siapa sosok yang mematung dan memandangi taman, tapi sesuatu menahannya untuk terus mengamati.

Rasa penasarannya semakin menjadi tatkala dia melihat sang gadis memalingkan muka dan mengelapnya. Dan tanpa disadari olehnya, kakinya melangkah mendekati gadis itu. “Spot ini memang popular di kalangan peserta didik,” ucapnya pelan.

Riri menoleh. Memaksa bibirnya melengkung dan mengangguk pelan.

“Saya juga suka tempat ini.” Lelaki itu menyodorkan tangan, “Ghanis. Bareskrim. Narkoba,” katanya mengenalkan diri.

Mata bulat Riri makin membesar saat mendengar kesatuan lelaki di hadapannya. Dia berusaha mencari wajah dan nama orang tersebut dalam ingatannya, tapi nihil. Gadis itu langsung menjabat tangannya, “Arina. Saya juga dari Bareskrim. Biro renmin.”

“Apa kita bernah bertemu sebelumnya? Maksud saya, wajahmu terlihat familier, tapi namamu tidak.” Ghanis cukup terkejut dengan keterusterangnnya sendiri. Sebelum gadis itu sempat menjawab, ponselnya bergetar. “Saya harus pergi. Sampai ketemu lagi besok,” ucapnya setelah melihat nama penelepon. “Oiya, kami bermalam di flat atau ....”

“Di flat, Dan.”

Tak lama setelah Ghanis pergi, Riri pun meninggalkan tempat tersebut. Dia berencana untuk tetap di ranjangnya usai makan malam. Berbalas pesan dengan keluarga dan sahabatnya. Dia pun ingin tidur cepat agar bisa bangun lebih awal untuk acara besok.

*

Benar apa yang Bei ucapkan tempo hari, kalau mayoritas peserta Dikbangspes adalah laki-laki. Anggota perempuan bisa dihitung dengan jari, bahkan saat ini, jari-jari dalam satu tangan pun masih tersisa. Tapi kenyataan itu tidak menyurutkan niat Riri sama sekali. Dia sudah membulatkan tekad untuk bersungguh-sungguh dalam pendidikan ini dan menjadi peserta terbaik. Demi cita-citanya, juga ayahnya.

Tempat Kita PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang