Part 37

314 60 0
                                    

Written by : San Hanna

Demi menghindari kemungkinan ada orang yang mengenali Ismawan, lelaki itu berdandan layaknya wisatawan lain. Riri pun memisahkan diri sejak di speedboat, sementara Ismawan bersama Ghanis.

Sesampainya di dermaga Marina, Ghanis menghubungi pengurus rumahnya untuk menyiapkan kamar. Dua lelaki beda usia itu berjalan lebih dulu ke parkiran dan Riri menuju halte pinggir jalan dekat dermaga. Setelah menunggu beberapa menit, mobil yang dikendarai Ghanis menjemput Riri, kemudian mereka langsung melaju ke kediaman orang tua Ghanis. Sejauh ini rencana yang disusun semalam berjalan lancar.

Hari masih terang ketika mereka tiba di Depok. Mereka disambut oleh Rawikara Putra Utomo. Ghanis mengenalkan Ismawan dan Riri pada bapaknya. Mereka langsung diajak ke kamar yang akan ditempati untuk beristirahat sejenak, sambil menunggu waktu makanan siap. Riri ingin membantu, tapi dicegah oleh Ghanis. Dia berdalih makanannya sudah dipesan dan akan diantarkan.

Sembari membongkar tas, Ismawan memperhatikan Riri. Dia tidak menyangka, dalam waktu yang relatif singkat, putri sulungnya sudah banyak berubah. Perubahan positif tentunya. Dia masih mengingat betapa manjanya si sulung. Riri akan mengadukan semua hal padanya, termasuk saat diomeli bundanya. Tapi, lihat dia sekarang? Dengan usahanya dia berhasil menemukan ayahnya dan membujuknya untuk keluar dari persembunyian.

“Yah! Ayah kenapa? Dari tadi lihatin Riri terus?”.

Ismawan terkesiap. Lamunannya bubar dan mendapati putrinya menatapnya dengan bingung. “Hah? Apa?”

Riri menghela napas. “Riri tanya, Ayah kenapa? Kok bengong sambil lihatin Riri terus?”

Alih-alih menjawab, Ismawan malah mengulum senyum. Dia menggeleng pelan. “Kamu berubah, Nak! Terlihat mandiri dan dewasa.”

Riri menghentikan kegiatannya, lalu duduk bersebelahan dengan Ismawan. “Ayah tuh yang berubah. Jadi tambah hitam, lebih kurus lagi. Nanti kalau sudah bertemu Bunda, pasti Ayah akan digelonggong sampai perutnya berisi.”

Keduanya tertawa sambil membayangkan Yashinta benar-benar melakukannya.

“Riri akan berjuang untuk membersihkan nama Ayah. Sampai saatnya tiba, Ayah di sini dulu, ya!”

Ismawan memeluk putrinya. “Apa tidak sebaiknya Ayah melapor saja.”

Riri menjauhkan tubuhnya. “Kita sudah membahasnya, Yah, dan Ayah setuju. Kalau dengan melapor semuanya bisa lebih mudah, mengapa tidak Ayah lakukan sejak dulu?” Riri kembali ke posisinya semula.

“Tapi, Ri....”

“Seperti Ayah yang mengkhawatirkan keselamatan kami, Riri pun sama. Beri Riri waktu untuk membuktikan semuanya, dan jika Ayah mau membantu, semuanya pasti lebih cepat.”

Suasana berubah hening. Tidak satu pun dari mereka yang bersuara. Sampai sebuah jeritan kecil terdengar.
Aunty Lili.

Riri tahu milik siapa suara itu. Dia bergegas keluar dan mendapati Javas tengah berlarian menuju kamarnya. Ghanis mengikutinya dari belakang. Sepertinya anak itu tidak sabar untuk bertemu dengan Riri. Bocah lelaki itu nyaris jatuh karena tersandung, beruntung Riri sigap dan berhasil menangkap tubuh kecilnya.

Dengan langkah besar Ghanis mendekati mereka. Dia khawatir keduanya terluka. Tapi orang-orang yang dicemaskannya malah tertawa girang. Perasaan Ghanis campur aduk melihat kedekatan Javas dan Riri. Meski baru beberapa kali berbicara via telepon atau panggilan video, putranya seolah-olah sudah mengenal Riri lama. Keduanya tampak akrab satu sama lain.

“Sayang! Aunty-nya istirahat dulu. Nanti main lagi,” bujuk Ghanis.

Javas malah bersembunyi ke dalam kamar. Dia terkejut saat mendapati seorang lelaki paruh baya di dalam sana. Dengan wajah ketakutan, anak itu keluar dan merapatkan diri ke tubuh Riri.

Tempat Kita PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang