Part 24

257 50 1
                                    

Written by : sabiqisedogawa21

Ghanis menatap wajah Panda yang masih menunggu penjelasannya terkait Sprin tersebut. “Pak Herman mengatakan bahwa beliau khawatir bila saya tidak bisa profesional karena TKP berdekatan dengan TKP kasus Adelia. Itu sebabnya saya dibebas tugaskan dari timsus dan diperbantukan kasus lain,” ucap Ghanis.

Panda menemukan kesedihan di balik bola mata atasan sekaligus sahabatnya itu. Sebenarnya dia pun gusar saat mendengar berita tersebut, apalagi tim mereka sedikit demi sedikit mendekati menemukan titik terang. Apalagi setelah temuan kemarin.  Namun entah mengapa pimpinan berkata lain.

Ghanis mencoba tersenyum walau sedikit susah diekpresikan saat ini. Ia yakin Panda bisa memahami. Justru reaksi Riri yang ia pikirkan kali ini. Sebetulnya dia bisa saja tidak perlu menjelaskan apa-apa pada gadis itu, tapi karena janjinya tempo hari, semua jadi tidak semudah itu. Dia harus memutar otak untuk mengatakan padanya.

Panda mengangguk hormat sebagai tanda akan undur diri, ketika pintu terbuka dan sebentuk wajah tegang terlihat dari balik pintu. Riri mengangguk hormat. 

“Izin Pak, saya mohon waktu untuk bicara,” pinta Riri kepada Ghanis yang sedikit terkejut dengan kehadirannya yang tiba-tiba. Ghanis menatap Panda dan dibalas dengan mengangguk.

“Ada apa IPDA Arina Prameswari?” tanya Ghanis formal. 

Ditanyai seperti itu menambah kekesalannya, tapi Riri berusaha tidak mengikuti perasaannya. Ada hal lain yang membutuhkan kepastian. “Apakah benar Bapak tidak berada di timsus lagi?” tanyanya.

Ghanis mengangguk. “Ya. Sprin itu sudah jelas,” balas Ghanis tenang. Ia memperhatikan anak buahnya tampak menahan rasa kesal. Wajahnya sampai memerah.

“Bapak tidak menolak?” tanya Riri lagi. Ia jelas berharap Ghanis menolak dan memilih tetap bergabung dalam timsus. Bila tak ada Ghanis, bagaimana kelajutan kasus itu? pikirnya dalam hati.

“Ada Pak Priyo yang akan bantu kalian,” balas Ghanis, seolah bisa membaca isi hati Riri. Walaupun sebenarnya ia tidak yakin dengan kemampuan Kompol Priyo Utomo, tapi lagi-lagi ini soal perintah Pimpinan. Ghanis menghela napas panjang.

“Saya ... Saya tidak tahu harus bagaimana bila Bapak keluar dari tim,” sahut Riri dengan suara mulai serak karena menahan tangis.

Ghanis tersenyum. ”Tidak akan ada yang berubah. Kamu pasti bisa meneruskannya, apalagi masih ada Panda dan Pak Priyo. Heri pun nanti akan ikut membantu. Sudah jangan sedih lagi,” ujar Ghanis menyemangati anak buahnya.

“Bukti-bukti sudah mulai kita peroleh, Pak. Bagaimana sampai ke tujuan bila Bapak tidak bersama kami? Apa kita maju saja ke Direktur untuk membatalkan sprin tersebut?” usul Riri. 

Panda menepuk kepala Riri dengan kertas yang ia pegang sedari tadi. Ia gemes dengan pemikiran gadis itu yang dirasanya tidak nyambung, tidak sepertit biasanya. “Kamu lupa siapa yang menandatangani Sprin itu?” kata Panda cepat.

Riri hanya bisa menunduk begitu menyadarinya.
“Saya masih tidak bisa menerimanya, Pak! Bukankah kita sudah menemukan perkembangan yang sgnifikan? Apakah ada alasan khusus sampai Bapak dipindahkan begitu mendadak?” sambungnya.

Suasana jadi hening. Tidak seorang pun dari mereka yang senang dengan kondisi seperti ini. Panda tetap membisu sementara Ghanis menghela napas. Ada satu bagian dalam hatinya yang tidak rela dengan situasi sepert ini. Bukan hanya perasaan aneh karena tidak terlibat dalam tim lagi, tapi ia jelas tidak ingin berjauhan dengan mereka, terutama dari Riri. Orang yang dia ingin hindari, tapi tak pernah bisa.

*

Meskipun Riri merasa kecewa karena Ghanis terkesan tidak mau berjuang untuk tetap berada dalam timsus, ia harus menerimanya. Dia pun  menyadari bahwa itu adalah perintah pimpinan, dan ia akan berusaha bekerja dengan baik.

Riri dan Panda melaporkan perkembangan kasus 235 yang dibuka kembali  kepada Pak Priyo. Berharap mendapatkan arahan agar kasus tersebut bisa segera dilanjutkan. Tapi harapan tinggal harapan. Jangankan memberikan petunjuk untuk tindakan berikutnya. Priyo malah terkesan meremehkannya. 

Riri menjatuhkan tubuhnya di kursi dengan rasa kesal. Ia tidak  menyangka bila Priyo tidak mengambil langkah apa pun untuk menindaklanjuti laporan analisis mingguan yang ia buat. Padahal dia sampai begadang untuk membuatnya, demi memperoleh petunjuk dan arahan selanjutnya. Usahanya tersebut mental di tangan Priyo.

Mata Riri menatap pintu ruang kerja Ghanis. Ruangan tersebut lebih sering tertutup karena pemiliknya jarang berada di sana. Riri menghela napas panjang setiap kali teringat reaksi Priyo. Hal itu sungguh menyesakkan dada, berbeda sekali dengan Ghanis. Priyo terlihat begitu santai. Sudah dua minggu berlalu, tapi tidak ada kemajuan  yang berarti.

Riri sempat berpikiran bahwa Priyo tidak memiliki kemampuan seperti Ghanis. Orang yang digadang-gadang Pak Herman sebagai orang yang pantas membantu timsus, karena bertangan dingin dalam menyelesaikan banyak kasus, nyatanya tidak melakukan apa-apa. Riri pun merasa orang itu terlihat seperti menahan sesauatu. Seperti sengaja mengulur waktu.

Bukan hanya Riri, Panda juga merasakan hal yang sama. Beberapa kali dia mengatakannya walau sambil bercanda. Suatu hari Panda tiba-tiba mengatakan kalau dia curiga mengenai alasan penggantian tersebut. Menurutnya alasan Pak Herman menggantikan Ghanis karena dia memang tidak mendukung timsus sejak awal. Panda mengingatkan Riri tentang kejadian di mana Herman mati-matian menolak permintaan Ghanis di depan banyak orang.

Setelah menunggu dan bersabar, nyatanya Priyo masih tidak melakukan tindakan apa-apa demi kemajuan kasus tersebut. Riri berinisiatif untuk menemui Herman, tapi orang yang ingin ditemuinya justru tidak pernah ada di tempat. Riri sampai meminta salah seorang anak buahnya untuk memberitahukannya jika Herman ada di ruangan.

Ketika kesempatan yang dinanti Riri tiba, dia langsung menemuinya. Tanpa basa-basi ia mengadukan sikap Priyo yang dinilai lamban.

“Priyo itu sangat berpengalaman, Ri. Dia lulusan pendidikan dan pelatihan di Amerika. Kamu tenang saja! Priyo pasti sedang mencari jalan keluar. Kamu kan tahu kasus ini sudah lama, sehingga tidak mudah untuk menanganinya lagi,” terang Pak Herman. “Berikan dia waktu untuk beradaptasi,” sambungnya.

Riri merasa tidak punya pilihan. Dia akan berusaha menerima penjelasan Kasubditnya. Herman adalah rekan kerja Ayahnya, dan Priyo adalah orang yang direkomedasi olehnya. Ia harus bersabar.

Masalahnya, Riri tidak tahu harus mengatakan apa pada ibunya ketika beliau menanyakan perkembangan kasus tersebut. Sejak Priyo menggantikan Ghanis, Riri lebih sering pulang larut malam dan berangkat lebih pagi untuk menghindari pertanyaan ibunya.

**

Tempat Kita PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang