Part 29

259 48 2
                                    

Written by : San Hanna

Perseteruan Riri dan Priyo perlahan diketahui banyak orang. Terlebih setelah kejadian Riri terang-terangan menantang kepala timnya. Perang dingin keduanya sudah menjadi rahasia umum, dan Riri tidak peduli.
Kabar itu pun sudah sampai ke telinga Ghanis, tetapi dia tidak berencana untuk menanyakan kebenaran dan penyebabnya pada Riri. Walau sebenarnya dia ingin gadis itu yang menceritakannya sendiri.

Setiap kali Riri dan Priyo berpapasan, keduanya saling buang muka, atau jika ada orang lain di sekitar, mereka akan berpura-pura tidak saling melihat. Keduanya tidak ambil pusing dengan bisik-bisik para staf atau penyidik lain. Pada saat berada di kondisi di mana mereka tidak bisa menghindar, seperti: ketika briefing tim atau menyerahkan laporan, mereka berpura-pura sedang berbicara dengan orang lain.

Panda hanya bisa menggelengkan kepala setiap kali mendapati Priyo dan Riri bertingkah seperti bocah yang sedang marahan. Jika Panda yang ada di posisi Riri, mungkin bukan hal ini yang terjadi, karena dia memilih adu otot dengan lelaki itu. Dia mengakui kehebatan Riri dalam mengontrol emosi.

Riri gelisah dalam bekerja. Dia tidak bisa memusatkan perhatiannya, karena pikirannya selalu tertuju pada foto yang dikatakan Herman. Semakin memikirkannya Riri makin tidak tenang, akhirnya dia memutuskan untuk menemui Kasubditnya.

Beruntung Herman sedang ada di ruangannya dan bersedia menemui Riri. Sebelumnya gadis itu sempat khawatir kalau Herman akan menghindarinya seperti yang sudah-sudah. Riri tidak mau repot untuk berbasa-basi. Dia langsung mengatakan tujuannya datang. Bahkan penyidik muda itu pun terkesan mendesak pimpinannya untuk menunjukkan foto-foto yang dikatakannya tempo hari.

Di dalam hatinya, Herman bersorak karena berhasil membuat bawahannya itu hilang fokus. Dia menikmati semua permainannya.

“Foto itu memang sudah saya terima, tapi belum diselidiki kebenarannya, Ri. Bisa jadi gambar tersebut palsu atau hasil editan,” kilah Herman. Pria paruh baya itu memang jujur mengenai omongannya barusan.

“Tolong perlihatkan saja. Saya ingin memastikan kalau orang dalam foto tersebut benar-benar Ayah.”

“Saya yakin kamu tidak akan percaya, karena saya pun tidak.” Herman mengeluarkan beberapa lembar foto yang memang belum lama diterimanya. Dia sengaja memandang serius pada setiap cetakan gambar di tangannya. Menempatkan tiga lembar foto asli di bagian awal, sementara dua foto yang sudah dimanipulasi di bagian akhir.

Riri tidak tahan melihat mimik Herman yang seperti habis melihat hantu ketika melihat foto-foto di tangannya. Tanpa memedulikan respons atasannya nanti, Riri langsung menyambar benda di tangan Herman. Lelaki itu memekik, antara kaget betulan dan jerit kegirangan.

Mata Riri melotot dan kepalanya terus menggeleng pelan. “Nggak. Nggak mungkin,” lirihnya ketika sampai di lembar ke empat. Dari jauh tampak ayahnya sedang asyik bercengkerama dengan seorang perempuan. Tapi saat melihat lembar terakhirlah yang menyebabkan reaksi Riri.

Di foto itu tampak lebih jelas lagi wajah ayahnya. Di sampingnya ada perempuan yang sama. Mereka terlihat bahagia. Ayahnya tersenyum lebar menatap orang di sisinya, yang sedang berpose dengan latar sebuah bangunan yang atapnya mirip topi petani.

Tangan Riri bergetar. Dadanya naik-turun dengan cepat. Dengan cepat matanya dilapisi air bening, yang kemudian jatuh begitu saja, meluncur di pipi mulusnya.

Herman buru-buru menarik benda itu dari tangan Riri dan memasukkannya lagi dalam amplop, kemudian di simpan di laci meja. “Kamu nggak apa-apa, Ri?” tanyanya bersimpati. “Saya kan sudah bilang, mau mengecek kebenaran foto ini dulu. Saya kenal betul Mas Ismawan. Dia tidak mungkin tega mengkhianati Yashinta, ibumu.”

Riri mendengar suara Herman, tapi semua itu hanya bunyi-bunyian tak bermakna baginya. Kepalanya sakit seperti baru terkena lemparan batu besar. Hatinya lebih parah. Hancur. Dia merasa dikhianati. Herman terus mengoceh, tapi semua itu kini tak terdengar sama sekali. Dengan langkai gontai, Riri berbalik dan meninggalkan ruangan itu tanpa permisi.

Herman tertawa setelah yakin gadis itu sudah jauh dari ruangannya. Dia menyandarkan punggungnya, menjadikan kedua tangannya yang bertaut sebagai bantalan, lalu memandangi pintu. Pikirannya melayang mundur ke beberapa hari yang lalu.

Saat itu seseorang meneleponnya dan mengirimkan berita tentang keberadaan Ismawan. Orang itu sangat marah dan memakinya serta mengeluarkan umpatan. Dia pun mengatakan bahwa Herman adalah orang paling tidak berguna, karena tidak bisa menuntaskan satu pekerjaan mudah.

Herman pun tidak menyangka kejadiannya akan begini. Berkat otaknya yang sudah terlatih, dia akhirnya bisa mengubah sesuatu yang semula buruk baginya, jadi senjata. Dia menjadikan foto tersebut sebagai pamungkas, ketika semua cara tidak membuahkan hasil. Dan hal itu terbukti sekarang. Putri sulung Ismawan tampak begitu terpukul. Lagi-lagi Herman tertawa.

Seseorang mengetuk pintu dengan cepat dan terdengar tergesa-gesa. Herman mengatur posisi duduknya sebelum dia mempersilakan orang itu masuk. Betapa terkejutnya dia saat mengenali siapa orang yang masuk. Riri.

“A-ada apa, Ri?” Begitu kagetnya dia sampai-sampai Herman tergagap.
Bagaimana lidah pria tambun itu tidak kelu? Gadis yang belum lama meninggalkan ruangannya dengan lesu, sekarang kembali lagi dengan aura yang jelas berbeda. Sosok di depannya saat ini dipenuhi amarah.

“Apakah pihak kepolisian sudah berhasil menemukan Ayah? Ada di mana dia sekarang?”

Herman mengangkat tangannya di depan dada sambil bilang “Sabar, Ri! Sabar! Atur napas, dan duduklah dulu.” Riri menolak. “Terserah kamu saja. Seperti yang sudah saya infokan dari awal, semua ini belum diperiksa. Saat gambar ini di ambil, itupun oleh orang lain yang tidak sengaja. Kami butuh waktu untuk menyelidikinya.”

“Waktu? Apa Bapak bisa menjamin Ayah akan bertahan di suatu tempat dalam waktu lama?”

Herman diam. Apa yang ditanyakan Riri memang masuk akal. Kepalanya langsung disesaki banyak pertanyaan.

“Jika saya jadi Ayah, saya tidak mungkin ceroboh muncul di keramaian dengan wajah asli. Apalagi kalau di lihat dari latar belakang foto, sepertinya masih ada di dalam negeri, entah di mana.”

Herman berdeham. “Kamu tunggu saja kabar selanjutnya. Tim pencari pasti langsung bergerak, dan saya pastikan, semua pertanyaan kamu akan sampai pada mereka yang berkepentingan.”
Riri bergeming. Matanya masih mengunci tatapan Herman.

“Ada lagi yang mau disampaikan?” Herman melirik jam di tangan kirinya. “Kalau tidak ada, saya harus pergi karena ada rapat. Selain itu, saya pun harus melaporkan ini,” katanya sembari menunjukkan amplop berisi foto-foto Ismawan, “pada tim pencari.”
Riri mengangguk pelan. “Tolong kabari saya begitu ada perkembangan, Pak. Saya permisi.”

*

Keesokkan harinya, Herman yang meminta Riri untuk ke ruangannya. Riri bergegas, karena dia yakin ini berkaitan dengan hasil pemeriksaan foto tersebut.

“Tepat seperti yang kau tanyakan, Ri. Tim pencari langsung bergerak begitu menerima foto-foto tersebut. Mereka meminta bantuan anggota kepolisian setempat untuk ikut mencari keberadaan Mas Ismawan. Bahkan ikut mengerahkan polisi air dalam pencarian. Dari beberapa lokasi yang dicurigai, tidak ada satu pun petunjuk yang bisa dipakai untuk meneruskan pencarian,” terang Herman begitu Riri duduk di hadapannya.

“Bagaimana mungkin? Memangnya kapan gambar-gambar itu diambil?”

“Saya pun menanyakan hal yang sama. Dan sudah mendapatkan jawabannya.” Riri menggeser duduknya lebih maju. Memasang kedua telinga dengan saksama. “Semua foto itu diambil satu minggu yang lalu,” sambung Herman. “Pak Ismawan disinyalir masih berada di salah satu pulau di kepulauan seribu,” aku Herman.

Hal itu adalah buah pemikirannya semalam. Tentu saja dia harus memikirkan berbagai kemungkinan tempat Ismawan tinggal saat ini, jika dia diketahui masih hidup.

“Kamu tidak perlu cemas, Ri! Tim masih terus berusaha agar ayahmu bisa ditemukan secepatnya.”
Riri mengangguk pelan, kemudian pamit. Herman bisa bernapas lega karena gadis itu percaya semua perkataannya.

**

Tempat Kita PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang