"Ris, gimana keputusan kamu?" Tanya bunda membuyarkan lamunan gue.
Gue makin bingung harus jawab apa. Makin kikuk rasanya ketika tatapan semua orang tertuju ke gue. Mana tatapan mereka serius banget lagi. Kan bikin gue jadi gak bisa berkata-kata.
"A-aku,"
Suasana ruang tamu berubah hening. Gue menunduk, memainkan jemari begitu gugup.
"Aku... aku juga setuju kok dengan perjodohan ini."
Jawaban gue bikin mereka terkejut bukan main. Apalagi Pak Devan. Dia beneran tertohok sama apa yang gue bilang.
"Kamu serius Ris?" Bunda mandang gue gak percaya. Sebagai jawaban gue cuma ngangguk aja.
"Heh bocil! Lo jangan asal jeplak kalo ngomong. Lo pikir pernikahan itu main-main, hah?" Tutur Bang Chan keberatan. Dia geleng kepala gak habis pikir sama keputusan gue.
"Rissa, sebaiknya kamu pertimbangkan kembali apa yang menjadi keputusan kamu itu. Kamu jangan asal bicara saja. Yang ada nantinya kamu malah menyesal, Ris." Pak Devan menimpali nyuruh gue berpikir lagi.
Bisa aja Pak Devan bilangin guenya. Bukannya dia juga asal memutuskan ya. Dia juga kan sama aja asal bicara aka tiba-tiba nerima perjodohan ini tanpa berpikir panjang.
"Saya sudah yakin dengan apa yang saya putuskan pak. Saya tidak asal bicara. Saya serius." Balas gue mencoba meyakinkan.
Suasana kembali hening dan semuanya masih mandangin gue.
"Tapi saya juga kembalikan lagi keputusan ini ke bapak. Justru saya yang harusnya takut Pak Devan akan menyesal nantinya. Pak Devan kan tau sendiri kalo saya mengidap penyakit jantung." Tutur gue seraya menunduk sendu mengingat kembali penyakit yang gue derita.
"Benar Anggun, Charissa ini mengalami sakit jantung. Dengan sakit yang dideritanya ini apa kamu masih akan menerima dia apa adanya sebagai menantu kamu?" Tanya bunda natap Tante Anggun yang masih terdiam.
"Bukannya apa, saya sayang sekali sama Charissa. Saya tidak mau dia terluka jika suatu saat nanti terjadi suatu hal buruk yang menimpa pernikahannya karena sakit yang dia idap ini."
Bunda beralih natap gue dengan sorot matanya yang penuh kekhawatiran. Gak tau kenapa ngedengerin ucapannya ngebuat mata gue panas. Rasanya gue mau nangis. Terenyuh sama rasa sayangnya itu.
"Dan saya juga sayang sama kamu, Van. Saya tidak ingin kamu kecewa nantinya dengan sakit yang diderita anak saya ini." Tatapan bunda semakin sendu. Bunda keliatan banget mau nangis namun dia berusaha untuk menahannya.
"Jadi, gimana Anggun? Apa kamu masih ingin meneruskan perjodohan ini setelah kamu mengetahui semua fakta tadi? Atau justru kamu akan membatalkannya?" Bunda masih memimpin pembicaraan. Dia menatap Tante Anggun dengan sorot matanya yang tegas.
"Saya akan menerima Charissa sebagai menantu saya. Saya menerima dia apa adanya." Balasnya.
"Seharusnya yang ditanya seperti itu Devan, bukan saya." Tante Anggun pun melirik anaknya yang duduk di samping gue. Alhasil bunda ikutin tatapannya.
"Jadi gimana Van, apa kamu bersedia menerima Charissa apa adanya?" Tanya bunda penuh keseriusan. Mendengar pertanyaan itu tentu gue pasang telinga —siap dengerin jawaban Pak Devan. Dari sudut mata gue juga perhatiin dia tanpa berkedip. Penasaran banget sama apa yang akan dia bilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gue Ketemu Doi [COMPLETED]
Teen FictionIni tentang gue, Charissa Hardi yang masih duduk di bangku SMA. Singkatnya gue ketemu sama 'Doi' yang berhasil masuk ke kehidupan gue. Doi yang tak lain adalah guru di kelas gue. Namanya Pak Devan Danuarta. Tapi gue manggil dia dengan sebutan pak h...