27. -Beginilah ceritanya-

152 33 4
                                    

"Ris! Buka pintunya!"

Gue gak peduli. Terus mengabaikan Pak Devan yang sedari tadi mengetuk-ngetuk pintu kamar.

Maaf-maaf aja gue gak mau dulu ngeliat dia. Hati gue udah terlanjur sakit karena dia gak mau ngejelasin soal Gio dan juga perempuan itu.

Jadi sejak kepulangannya dari setengah jam yang lalu, gue langsung interogasi dia minta dia buat jelasin siapa kedua orang yang udah dia temui di cafe.

Bukannya dia jawab dan jelasin secara rinci biar gue gak salah paham, eh dia malah diam seribu bahasa alias bungkam tutup mulut rapat-rapat seolah gak mau nyeritain tentang mereka berdua.

Kan siapa yang gak kesel coba.

Cklek

"Akhirnya kamu bukain pintunya Ris."

Pak Devan tersenyum lega karena gue akhirnya bukain pintu.

Gak. Pak Devan geer. Gue keluar kamar bukan buat nemuin dia. Gue cuma mau pergi ke kamar mandi buat basuh muka. Barusan bunda kirim pesan katanya dia lagi di perjalanan menuju ke sini. Bentar lagi dia nyampe. Bunda bilang dia kangen banget sama gue dan dia mau nginep di sini. Emang dadakan banget bunda bilangnya.

Gak mau keliatan habis nangis gue memutuskan buat cuci muka dulu sebelum bunda tiba.

"Kamu mau kemana, Ris?" Pak Devan buntutin gue dengan panik. Seolah tuli, gue terus aja mengabaikannya nganggap pertanyaannya itu sekedar angin lewat belaka alias gak gue gubris!

"Rissa, saya mohon kamu jangan kayak gini. Saya mohon kamu jangan pergi." Dia nahan tangan gue bikin gue berhenti di tempat. Gue natap dia dengan keadaan mata yang masih sembab. Dia beneran panik dengan sikap gue ini.

"Kalo Pak Devan gak mau saya kayak gini, ya udah cepetan jelasin mereka itu siapa?!" Pinta gue dengan tegas.

"Nah kan diam lagi. Pak Devan kayaknya emang gak mau jelasin siapa mereka ke saya kan?" Gue membuang napas kesal. Mandangin dia kecewa.

"Ris, nanti saya jelasin. Saya mohon kamu jangan pergi."

"Nanti kapan pak?! Kenapa gak jelasinnya sekarang aja sih? Emangnya kenapa harus ditunda-tunda dulu?" Balik lagi gue natap dia dengan nyalang. Sumpah gue beneran gereget sama dia.

"Bukan begitu Ris, saya hanya-"

"Hanya apa pak?"

"Hanya-"

//Tiinn...

Sebuah motor berhenti tepat di depan pagar. Gue sama Pak Devan noleh merhatiin orang yang turun dari motor itu. Rupa-rupanya orang itu bunda. Setelah menyerahkan helm ke si mamang ojeg bunda pun jalan menghampiri kita dengan senyumannya yang sudah mengembang menghiasi kedua sudut bibirnya.

"Charissa bunda kangen banget sama kamu." Dia narik gue ke pelukannya lalu mendaratkan satu usapan lembut di puncak kepala. Untuk beberapa saat bunda terus aja melukin gue dengan eratnya.

"Iya bun, aku juga kangen sama bunda." Balas gue mencoba terlihat baik-baik aja. Gue bersusah payah menyembunyikan perasaan gue yang sebenarnya lagi kacau karena ulahnya Pak Devan.

Bunda pun melepaskan pelukannya habis itu balik natap ke Pak Devan yang lagi pasang raut gak nyangkanya. Dia emang gak tau kalo bunda bakalan datang.

"Van, apa kabar?" Sapa bunda masih tersenyum lebar.

"Alhamdulillah baik bun." Jawabnya lalu meraih punggung tangan itu untuk kemudian ia cium.

"Bunda sendiri gimana?" Kembali dia menegakkan badan.

"Baik Van, alhamdulillah."

Pak Devan mengangguk kecil masih dengan senyum tipisnya. Dia pun balik melirik gue dengan sorot mata yang seolah meminta penjelasan mengenai bunda yang kenapa tiba-tiba datang.

Gue Ketemu Doi [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang