bagian sembilan

209 36 6
                                    

Mina tersenyum kecil, sambil mengelus kepada Annya yang sekarang tiduran di paha Mina, sambil masih menangis dengan sesenggukan. Karena, ini pertama kali nya, Annya bertengkar dengan papa nya.

"Nya... kamu juga harus paham posisi papa seperti apa. Papa udah semakin bertambah umur, begitupun juga mama. Papa mungkin mengingat hal yang dulu, bukan berarti papa nggak cinta lagi sama mama. Kami akan selalu saling mencintai Nya, kamu pun juga begitu. Harus sayang sama mama dan papa, bukan hanya salah satu dari kami," ucap Mina panjang lebar, dengan nada yang sangat halus.

Annya duduk, lalu memandang Mina.

"Ma, mama jujur. Pasti, pasti mama juga ngerasa dengan apa yang aku rasain bukan? Papa setiap hari pergi ke pemakaman, papa selalu sibuk dengan kerja dan pemakaman, papa kurang waktu buat kita."

Mina menghela napas nya.

Bingung mau menjawab apa, karena dirinya juga merasakan hal yang sama dengan apa yang Annya rasakan.

"Mama nggak bisa jawab kan?" tanya Annya sebentar, "itu semua kesalahan papa sendiri, kalo nggak mau Mama Arin kayak gitu, ya jangan kayak cowok brengsek di masa lalu," lanjut Annya sambil mengumpat ayah nya berkali - kali.

Mina tersenyum. "Nya, nanti papa denger," ucap Mina sambil meletakkan telunjuk di mulut nya.

Mina beranjak berdiri, "yaudah kamu mandi dulu habis itu ganti baju ya. Habis itu turun ke bawah, mama masakin pancake saus blueberry kesukaan kamu," ucap Mina sambil mengelus lembut puncak kepala Annya.

Annya mengangguk lalu mempersilahkan Mina pergi.

Keluar dari kamar Annya. Mina mencari keberadaan Mark, dan menenangkan kedua nya adalah jalan terbaik untuk membuat damai kembali.

Mina masuk ke dalam kamar nya. Lalu menemukan Mark sedang berdiri di depan meja rias, sambil melepas jas kerja nya.

Mina duduk di pinggir kasur. Lalu bertanya kepada Mark yang berdiri di depan meja rias itu. "Kamu tadi sama Annya baik - baik aja kan?" tanya Mina berpura - pura tidak tahu.

Mark menghela napas nya. "Aku lagi bingung sama diriku, Na."

Mina beranjak berdiri, lalu memeluk Mark, di sela - sela pelukan itu Mina mengucapkan. "Tetapkan hati kamu untuk satu orang, Mark."

Setelah mengucapkan kalimat tersebut. Mina bertanya kepada Mark, "kamu bingung gimana? Kamu bisa cerita," ucap Mina sambil membantu Mark melepaskan dasi nya.

"Bingung kali ini bener - bener di luar kendali ku, Na."

"Apa ini berhubungan sama Mendiang Arin?"

Mark merubah mimik wajah nya, membuat Mina terkejut dan melepaskan tangan nya dari dasi Mark.

"Aku kurang nyaman kamu sebut Arin sebagai mendiang. Kamu bisa filter kata - kata kamu kan?"

Mina menautkan alisnya. Bingung. Hanya itu kata yang dapat mewakili nya saat menghadapi Mark yang sekarang. "Mark, mau bagaimana pun Arin memang sudah mendiang."

"KANG MINA! KAMU BISA FILTER KATA - KATA KAMU KAN?! KAMU ITU WANITA BERPENDIDIKAN. MASAK NGGAK DI AJARIN TATA KRAMA BERBICARA SEPERTI APA?"

Mina menutup telinga nya, sambil mundur beberapa langkah. Selesai Mark berteriak, ia melepaskan tangan nya yang menutup telinga nya. Mina hampir meneteskan air mata nya, tidak percaya dengan lelaki yang sangat ia sayangi yang berada di depan nya ini.

Dimana Mark yang dulu? Mark yang penyayang. Mark yang selalu ia banggakan. Mark yang mengasihinya melebihi apapun. Mark yang tidak pernah berteriak kepada nya. Mark yang selalu meminta maaf atas apapun? Dimana kah Mark yang sempurna?

Mina memandang Mark dengan tidak percaya.

Mina otomatis langsung mengingat Annya. Mina tidak ingin berbicara kepada Mark untuk saat ini. Mina bergegas keluar kamar, dan menutup pintunkamar dengan lumayan keras.

Mark sudah gila.

Itu yang ada di benak nya saat ini.

Annya menuruni tangga, dan bertanya kepada mama nya. "Tadi itu kenapa, ma?" tanya Annya sambil duduk di meja makan, dan meminum segelas susu.

"Ada apa? Nggak ada apa - ap kok, Nya. Bentar ya, mama masakin. Tadi mama ada ke kamar kecil dulu soal nya," ucap Mina langsung membuka microwave dan memasukkan pancake instan itu beserta dengan selai blueberry.

Di saat sedang berbincang dengan Mina. Mereka melihat Mark dengan langkah cepat keluar dari kamar. Annya menautkan alis nya, dan tidak sedikit pun ada niat untuk mengejar Mark keluar rumah sana.

"Nya, bentar ya. Mama mau ke papa," ucap Mina sambil berjalan, lalu Annya menahan lengan Mina.

"Nggak usah, ma. Temenin aku aja di sini," ucap Annya dengan tatapan yang, 'tolong jangan kejar papa'

Mina mengulum bibir nya pertanda bingung. Akan mengejar suami nya, atau menuruti anak gadis semata wayang nya itu. Akhirnya Mina memutuskan untuk menuruti anak nya, mungkin Mark butuh waktu sendiri.

Sambil meminum segelas susu kesukaan nya. Annya angkat bicara, "papa itu kenapa sih? Kok kayak orang PMS, mana sering banget bolak - balik kuburan, seakan - akan rumah nya itu kuburan, bukan di sini. Mau cepet wafat apa gimana sih?" ucap Annya dengan nada yang sedikit ngegas.

"Hust Nya. Jangan gitu, maklum aja, mungkin papa kangen sama mama Arin."

Annya menghela nafas nya kasar. "Makanya dulu nya jangan kayak begitu. Pas merasa kehilangan langsung muncul tuh bibit - bibit cinta," ucap Annya dengan nada mencibir dan mulai memotong pancake nya.

Mina berpikir sebentar.

Apakah sudah saat nya anak gadis semata wayang nya ini mengetahui ini semua? Annya sudah akan menginjak 17 tahun. "Nya, kamu habis makan langsung ke kamar mama ya," ucap Mina sambil melangkahkan kaki menuju kamar nya.

"Ke kamar mama? Ngapain?"

Mina hanya tersenyum, sembari menjawab. "Pokoknya dateng aja ya."

"Iya, okey."

Mina masuk ke dalam kamar nya. Sedangkan Annya di tinggalkan makan di meja makan, sambil di temani beberapa Asisten Rumah Tangga yang sedang bekerja.

Annya memakan pancake nya sambil memainkan HP nya. Sudah menjadi kebiasaan juga.

Di sela - sela bermain HP, Annya memikirkan kenapa sang ibunda menyuruh nya masuk ke dalam kamar? Kamar yang jelas - jelas sangat menyimpan privasi itu?

Here After 3

maap lama up yorobun🥰

[3] Here After 3 - Annya Lee ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang