PROLOG

408 20 3
                                    

Happy Reading

***

Sepeda berwarna hitam pekat itu mulai dikayuhnya dengan perlahan, pakaian yang ia kenakan dapat memberi jawaban sekaligus mempertegas pada siapa pun yang melihat, ia adalah seorang palajar Sekolah Menengah Atas.

Hanna Jasmine Aurora, gadis yang tak pernah kenal takut. Tubuhnya cukup tinggi untuk orang seusianya. Ia punya pekerjaan paruh waktu yakni mengantarkan koran ke rumah orang-orang, lalu terkadang mengantarkan kue pesanan langganan Ibunya.

Setelah hampir dua puluh menit lamanya ia mengenderai sepeda kesayangannya itu menuju sekolah, ponsel Hanna berdering amat nyaring yang membuatnya mendengus kasar.

"Astaga, aku hampir saja menabrak pejalan kaki. Siapa yang meneleponku sepagi ini." Gerutunya kesal bukan main, pasalnya hari ini ia punya rencana bersama teman-teman satu sekolahnya.

"Halo?" Sapanya pertama kali.

"Yaa, kenapa kamu pergi sepagi ini. Pesanan kue Ibu belum kamu antarkan. Ibu sudah janji ke Ibu Dira, kalau pesanan kue ulang tahun anaknya akan diantarkan pukul 7 pagi ini. Tapi kamu malah pergi cepat sekali-"

"Bu, Tapi-"

"Sudah, tidak ada tapi-tapi-an. Pulang cepat, antarkan pesanan orang ini terlebih dahulu, lalu kamu pergi ke sekolah. Kalau tidak mau, Ibu tidak akan memberimu uang jajan lagi." Ancam Martha-Ibu Hanna.

"Ibu-"

"Apalagi? Pulang cepat."

"Baiklah, baiklah. Sepuluh menit aku sampai."

Hanna menutup panggilan itu, ia menggaruk kepalanya kasar, dengan cepat, sepedanya ia putar berlawanan arah.

"IBUUUU!" Teriaknya sekeras mungkin yang membuat semua orang kaget karena suaranya yang begitu kuat.

Sikap Ibunya memang seperti itu, tapi aslinya sangat baik. Hanya saja terkadang Hanna lah yang suka mencari masalah. Padahal, sudah tadi malam Ibunya mengingatkan bahwa pengantaran kue ulang tahun itu pagi ini, tapi karena ia terburu-buru jadi terlupakan semuanya.

***

Sesampainya Hanna di rumah, kue yang akan diantarkannya telah diletakkan diatas meja ruang tamu seperti biasanya, pasti sekarang Ibunya telah pergi ke pasar. Tak lupa pula Sang ibu menyisipkan kua itu bersama sepucuk kertas bertuliskan *Antarkan ini ke rumah ibu Dira, dibawahnya ada bekal makanan untukmu dan uang jajan. Ibu menyayangimu, Hanna.*

Hanna membacanya sembari tersenyum geli, Ibunya memang selalu seperti ini. Tak ada yang berubah dari tahun ke tahun, sama saja. Tapi, ia sudah terbiasa, dan merasa nyaman akan hal itu.

"Oke, bu." Jawabnya dengan senyum sumringah, bukan tanpa sebab ia bahagia, Hanna bukan lah tipe orang yang mudah tersenyum, ia sangat datar, bahkan tak jarang mendapatkan omelan dari Sang ibu karena begitu dingin, tapi justru malah tersenyum lebar sekali jika ia diberi uang meski jumlanya tak banyak. Dan, hari ini karena Ibunya memberi uang tambahan untuknya ke sekolah, Hanna lebih bersemangat lagi.

Begitu telaten Hanna mengantarkan pesanan, ia sepertinya sudah hapal rumah dari setiap pelanggan Sang ibu. Hanna menunggu setelah membunyikan bel rumah, tak lama seorang Wanita paruh baya keluar, "Kue ulang tahun?" ucapnya.

"Iya, Nek." Sahut Hanna kemudian.

Usai menyelesaikan tugasnya, Hanna bergegas pergi sebab sebentar lagi bel sekolahnya akan dibunyikan, ia yakin itu.

Diperjalanan Hanna mengayuh sepedanya begitu kencang, jika ia terlambat lagi kali ini, sudah bisa dipastikan Ibunya akan mendapatkan surat peringatan. Sudah lebih dari tiga kali ia mendapat keringanan dari sekolah karena sering kali terlambat masuk, tapi kalau ia berbuat kembali hal yang sama, maka Ibunya akan di undang ke sekolah sebagai bentuk peringatan.

𝐒𝐞𝐛𝐮𝐚𝐡 𝐀𝐥𝐚𝐬𝐚𝐧 𝐏𝐚𝐭𝐚𝐡 𝐇𝐚𝐭𝐢 (𝐎𝐧 𝐆𝐨𝐢𝐧𝐠)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang