22. Tanda Tanya dalam Benak Nathan🕊

41 9 2
                                    

Happy Reading

Saran ost : It's Only Me by Kaleb J

Btw, jika ada typo dan kalimat rancu silakan langsung komen saja, ya. Terima kasih sudah singgah membaca ;).

***

Setelah menunggu hingga sepuluh menit, akhirnya mereka tiba di lantai enam belas. Hanna dengan sekuat tenaga membangunkan Nathan dari posisi berbaring untuk segera duduk.

Nathan perlahan mendekatkan kepalanya ke telinga Hanna, seraya membisikkan kalimat. "Jangan perlihatkan wajahku," titahnya pelan.

Hanna menghela napas sedikit merasa kacau, pasalnya terdapat beberapa orang di luar lift yang berlalu lalang tak henti. Sangat tipis kemungkinan jika mereka berhasil menyelinap keluar tanpa mendapatkan perhatian dari karyawan yang ada.

Berusaha diputar Hanna dengan keras otaknya—menemukan ide yang sekiranya dapat digunakan dalam situasi mendesak ini, hingga tiba pada satu keputusan yang mana dipikirnya ini adalah jalan satu-satunya. Dilepas Hanna jaket putih yang ia tengah kenakan, untung saja jaket itu tidak sampai ternodai oleh darah Nathan sebab sebisa mungkin ia jaga. Di tutupinya wajah Nathan secara keseluruhan hingga tak ada yang bisa melihat bentuk muka Pria itu.

"Naik ke punggung Saya,"pinta Hanna segera, usai memastikan bahwa jaketnya telah terbalut sempurna.

Nathan tak bisa menolak, sebab kakinya benar-benar mati rasa sekarang. Para bodyguard itu melumpukan dan memukulnya habis-habisan hingga tidak bertenaga lagi sekarang. Bahkan rasanya tulang kakinya telah patah, dan perihnya mulai menjalar ke seluruh badan.

Hanna berdiri membawa Nathan di punggungnya. Ia bopong sekuat yang ia bisa. "Semoga tidak ada yang memperhatikan kita," doa Hanna meyakinkan diri. Sementara Nathan, tak bisa menimpali apapun, mulutnya kini tengah menampung darah segar-diusahakannya untuk tak menetes sepanjang perjalanan.

Berjalan dengan cepat Hanna keluar dari elevator. Ia hanya fokus ke depan, tidak mau melihat kiri dan kanan, apalagi memperhatikan pandangan orang. Jantungnya hampir terasa mau copot saja sekarang. Padahal ia tak salah, justru dirinya menolong seseorang yang sedikit lagi hampir saja mati, tapi entah kenapa ia seperti tengah menyelundupkan narkoba atau melakukan hal buruk di luar batasan.

Mata semua orang melirik tajam nan aneh padanya.

"Maaf, Anda siapa?"

Panggilan mendadak itu berhasil menghentikan langkah kaki Hanna yang semula melaju tanpa rem.

Suara tapakan panftofel terdengar mendekat padanya. Rasanya seperti bom waktu yang akan meledak tepat di depan mata.

"Anda belum pernah Saya lihat. Siapa yang Anda bopong ini? Anda sudah mendapat persetujuan untuk masuk ke lantai enam belas?" cercaan pertanyaan dilontarkannya mempertegas keadaan.

Hanna menghela napas, ia memilih menenangkan diri terlebih dahulu sebelum benar-benar menjawab.

"Saya karyawan baru dari divisi periklanan, dan yang Saya bopong sekarang adalah Bapak Nathan Saylendra, beliau tadi mabuk di lobi, jadi Saya bantu untuk ke ruangannya. Jelas? Maka untuk itu, bolehkah Saya segera pergi? Beliau sepertinya akan muntah, dan Saya tidak mau kameja kerja Saya di muntahi olehnya," tukas Hanna dengan lantang namun ia seperti air danau yang tenang.

"Kartu kerja Anda ada? Boleh Saya lihat?" masih belum yakin, ia kembali melayangkan pertanyaan.

Lagi dan lagi Hanna memutar bola mata resah. Ia memiringkan sedikit wajahnya ke samping, tepat ke sebelah kanan bahunya di mana Nathan menyenderkan kepala.

𝐒𝐞𝐛𝐮𝐚𝐡 𝐀𝐥𝐚𝐬𝐚𝐧 𝐏𝐚𝐭𝐚𝐡 𝐇𝐚𝐭𝐢 (𝐎𝐧 𝐆𝐨𝐢𝐧𝐠)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang