34. Malam Mengisyaratkan Rasa 🕊️

25 3 0
                                    

Happy Reading

Saran ost : Good Days by SZA

Jika ada kalimat rancu dan kata typo silakan langsung komen saja, ya. Terima kasih.

***

Hanna mendekati tubuh lemah bahkan tampak tak lagi dialiri darah itu—tersebab kedinginan hingga kulit dari si pemilik tubuh pucat pasih.

Tanpa berpikir dua kali, ia mengangkat tubuh Nathan, meletakkan kepala Pria itu tepat di atas pahanya. Ditepuk Hanna berkali-kali pipi Nathan untuk barang sejenak ia tersadar, setidaknya sebagai satu titik terang bahwa ia baik-baik saja.

Namun, sekeras apapun Hanna mencoba menepuk, tak kunjung ada tanda-tanda Nathan sadar dari pingsannya. Bahkan hanya senggalan napas tak beraturan yang terus berembus dari kedua hidung Nathan. Ia benar-benar tak lagi merasakan apapun.

Hanna memilih untuk membopong tubuh kekar itu di punggungnya, bahkan tanpa bantuan Arka sekalipun. Ia memiliki tenaga yang sangat berbeda dari wanita pada umumnya.

“Han? Ibu tutup pintu, dingin gini kok pintunya dibuka lebar—” Belum selesai ucapan singkat itu tersampaikan, Mirna hampir saja  terjatuh kebelakang dengan mata yang terbuka lebar, dilihatnya Sang anak kini tengah membawa seorang Pria dibalik tubuhnya. Bahkan melewati Mirna yang masih shock tak terelakkan dengan bagaimana situasi sekarang.

“Hanna mau mengambil kompres dan air hangat dulu, Bu,” bahkan tanpa penjelasan apalagi keterangan panjang kali lebar yang mustinya ditunggu Mirna untuk keluar dari bibir anaknya—rasanya semua nihil terjadi.

Seakan hanya ada kegamangan dan kekacauan di sana.

Arka masuk perlahan ke dalam rumah, dengan wajah memucat tak kalah dari Nathan—namun lebih parah Nathan tentunya.

Ia menggigil hebat, Mirna yang menyadari kehadiran seseorang dibalik punggungnya dengan getaran gigi yang tak mau berhenti, ia akhirnya membalikkan tubuh—“Ya ampun—Arka, kenapa kalian ini main basah-basahan. Apa yang sebenarnya terjadi?” Mirna menangkup mulutnya, benar-benar kini ia ada di antara kebingungan.

Tanpa mau menyahuti apapun, ia berjalan meninggalkan keduanya dengan posisi yang kini jelas berbeda. Nathan yang terbaring tanpa kesadaran, pun dengan Arka yang berdiri kedinginan.

Tak lama kemudian Mirna muncul sembari membawa baju ganti, pun dengan handuk yang nampak masih baru di sebelah tangannya. “Gunakan ini, kamu masuk angin nanti,” Mirna menghela napas sejenak, “Ya ampun, kenapa dua orang bocah lelaki dari keluarga kaya seperti mereka menyibukkanku di malam dingin ini, keberuntungan apa yang baru saja aku terima, Tuhan,” sambung Mirna. Ia mengusap wajahnya seakan baru selesai berdoa.

Keberuntungan bagi Mirna, namun kutukan bagi Hanna. Benar-benar suasana hati yang berbeda.

Sementara Hanna berjalan sembari menenteng ember bersama air hangat yang nampak jelas mengeluarkan asap, pun di tambah handuk kecil berwarna putih yang sudah basah. Ia membawa pula sepasang kaos putih dan hitam beserta celana panjang—yang sangat khas gaya lelaki, sebab hampir semua baju dan celana jeans dengan warna yang sama. Hanna memang seperti pakaian Lelaki, dan sangat membantu di keadaan seperti ini. 

“Arka, kamu pakai yang ini,” Hanna memberikan kaos putih pada Arka bersama celana jeans selutut miliknya. “Ibu tolong bantu Hanna, Ibu mengompres Arka, Hanna mengompres Nathan,” titah Hanna dengan begitu telaten. Sedang, Mirna tidak lagi melakukan basa-basi, ia mengangguk pasrah dengan perintah anak gadisnya itu.

Arka dituntun Mirna untuk berganti pakaian di  toilet, sedang Hanna kebingungan bagaimana caranya membantu Nathan untuk mengganti pakaian yang sudah basah di tubuhnya.

𝐒𝐞𝐛𝐮𝐚𝐡 𝐀𝐥𝐚𝐬𝐚𝐧 𝐏𝐚𝐭𝐚𝐡 𝐇𝐚𝐭𝐢 (𝐎𝐧 𝐆𝐨𝐢𝐧𝐠)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang