1. Kecanggungan 🕊

138 12 0
                                    

Happy Reading

***


Semua penumpang Bus telah turun satu per satu di tempat tujuan mereka. Hanna masih setia menyenderkan kepalanya di pundak Arka yang juga tak keberatan dengan hal tersebut.

"Kita hampir sampai di tempat kerja kamu, Hanna. Bersiaplah." Tutur Arka dengan sedikit menggerakkan bahunya untuk menyadarkan Hanna yang masih terlelap dalam tidur. "Hann-"

Belum berakhir sebutan nama itu, Hanna sudah lebih dulu meluruskan kepalanya, ia buru-buru memperbaiki rambut, dan mengucek mata. "Ah, terlalu cepat rasanya perjalanan, padahal aku masih mau tidur," celetuknya.

Arka tertawa disudut bibir, ia mengangkat tangannya lalu mengarahkan ke rambut Hanna yang masih belum terlalu rapi. "Jangan terlalu lama tidur, Han. Enggak baik buat kesehatan. Kalau tubuh kamu lelah, bekerja pasti akan sulit dilakukan." Sahutnya, kemudian menyelipkan sedikit rambut Hanna ke telinga. "Sudah rapi."

Hanna tersenyum tak habis pikir dengan sikap anak yang kini duduk disebelahnya itu, "Kenapa kamu terlalu baik?" Tanyanya tiba-tiba.

Sementara itu Arka menatapnya seketika keheranan, "baik semacam apa?"

"Semuanya, aku tahu pasti kamu naik mobil tadi, tapi kamu malah naik Bus denganku. Kemarin-kemarin juga seperti itu." Cetus Hanna mengedikkan bahu.

"Kamu juga baik padaku, selalu ada bersamaku ketika kita masih di sekolah sampai sekarang saat kita sudah sama-sama dewasa. Dan kamu selalu mendengarkan keluh kesahku."

"Tapi itu tidak cukup dikatakan sebagai sebuah alasan, Arka. Atau jangan-jangan kamu menyukaiku?" Hanna memajukan wajahnya hingga sedikit lagi menyentuh pipi Arka yang langsung mundur.

"Suka? Kenapa musti suka denganmu? Sementara menjadi teman lebih menyenangkan." Ujaran pembelaan itu keluar talak dari bibir Arka.

Hanna mengangguk sesaat, "iya, tidak mungkin juga kamu suka padaku yang seperti ini."

"Ngomong apa sih? Enggak lucu tahu bicara kayak gitu." Arka menimpali ketika ia melihat perubah wajah yang amat drastis dari raut Hanna.

"Aku enggak bercanda, siapa yang bercanda? Ini lagi serius juga, masa di anggap main-main." Hanna balik berucap.

"Terus maksud omongan kamu?"

"Aku pernah menyukaimu saat SMP dan kamu tahu itu karena aku pernah mengungkapkannya padamu langsung. Tapi, sayangnya kamu menolak. Hanya saja, sekarang tidak masalah ketika aku ingat-ingat lagi kenapa kamu tidak menyukaiku, mungkin karena takdir kehidupan kita memang berbeda. Kamu dari keluarga berada sedang aku sebaliknya."

Arka kembali mengingat bagaimana dahulu Hanna dengan semangat menyatakan perasaan suka padanya. Mereka hidup di satu kompleks rumah yang sama, namun kala itu ia dilarang bergaul dengan orang yang berbeda jauh latar belakang finansial dengannya, jadi ia tak bisa menerima.

"Hmm, tapi perasaan itu masih ada hingga sekarang?" Arka mencoba menggali pita suaranya yang sempat berusaha menghilang.

Hanna menggeleng pelan, "entahlah, aku tidak tahu. Rasanya menyukai orang lain sekarang sangat berbeda dengan saat aku menyukai seseorang di masa lalu. Ketika aku kecil, mana pernah aku berpikir tentang keluargamu yang kaya, yang aku tahu adalah hanya ingin membuatmu menjadi pacarku kala itu. Tapi, sekarang semua jelas berbeda dan banyak berubah, aku tahu keluarga pun bisa menjadi penghalang untuk menyukai seseorang," panjang Hanna menjelaskan, namun ketika ia tersadar bahwa ceritanya lebih terkesan menjadi curahan hati ia segera menutup mulut, "astaga, aku jatuhnya curhat nih."

𝐒𝐞𝐛𝐮𝐚𝐡 𝐀𝐥𝐚𝐬𝐚𝐧 𝐏𝐚𝐭𝐚𝐡 𝐇𝐚𝐭𝐢 (𝐎𝐧 𝐆𝐨𝐢𝐧𝐠)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang