37. Angan-angan Yang Menyakitkan🕊️

29 2 0
                                    

Selamat membaca :)

Saran ost : One bended knee by Boyz II Man

Btw, jika ditemukan kalimat rancu dan typo silakan langsung komen saja, ya. ;). Terima kasih :v

______

Pukul sembilan telah nampak di jam dinding ruang tamu rumah Hanna. Orang-orang yang semula berada di meja makan, kini telah pindah ke ruang tamu. Tanpa terkecuali Mirna. Ia turut serta dengan tiga anak muda itu, menyusul dari belakang.

Sementara Hanna sedari awal memang tak pernah membuka suara. Ia diam tanpa kata, memang tak tertarik masuk ke dalam obrolan. Nathan sesekali sibuk dengan ponselnya, sedang Arka pun sama.

"Kalau memang tidak ada lagi yang dibutuhkan, Ibu saya juga mau pergi, dan Saya juga mau ke tempat kerja, jadi bisa kalian lebih dulu pulang saja?"

Bahkan tanpa memberikan kode apapun, ucapan Hanna sudah jelas langsung pada intinya.

"Hanna, tidak baik mengusir orang. Ibu juga bisa pergi lebih dulu," sahut Mirna yang tak enak hati kala mendengar anaknya berucap kurang baik.

Nathan menggaruk lehernya yang tidak gatal, berlagak sok tak paham dengan tujuan dari ucapan Hanna barusan. Sama halnya dengan Arka yang pura-pura tetap fokus pada ponsel padahal telinganya aktif mendengar.

Akan tetapi Mirna sudah pergi, yang tak lama ia keluar dengan menenteng dompet kecil di sebelah tangan.

"Ibu ke rumah Mbak Dian dulu, nanti rumah kunci ya, kalau kamu sudah mau pergi," kalimat terakhir yang ia ucapkan pada Sang anak, sebelum tubuh ringkuhnya benar-benar tenggelam di balik pintu.

Hanna menghela napas panjang, "Jangan pernah lagi membuat kekacaun di rumah saya. Lebih baik kalian pergi sekarang sebelum saya mengucapkan kalimat pengusiran. Kalian sungguh mengganggu kehidupan orang lain," ia berucap saat memastikan Ibunya sudah tak bisa mendengar ujarannya lagi.

"Kamu mau pergi kerja juga kan? Kenapa tidak sama-sama saja? Sekalian saya dari sini akan ke kantor juga," timpal pelan Nathan, ia menyisipkan ponselnya ke dalam saku celana, sembari mengangkat alis kala penawaran itu ia lontarkan.

"Tidak, terima kasih," tolak Hanna sangar. Tanpa basa-basi.

Arka menyunggingkan senyum, tak lama ia berdiri dengan penuh percaya diri. "Berangkat saja denganku, sekalian juga ada yang ingin aku katakan tentang sesuatu. Aku tak ingin manusia aneh ini mendengarnya," sambung Arka, sembari diujung kalimat melirik sinis pada Nathan.

"Membicarakanku? Begitu? Huh, jangan seperti anak kecil yang berani mengatakan setiap hal buruk hanya di belakangku, bicaralah langsung tepat di depan wajahku. Itupun jika kamu berani melakukannya," Nathan yang bibirnya sudah tak tahan lagi, akhirnya berucap dengan lantang.

"Oh, begitu?" Arka terdengar menantang dibalik kalimatnya. Ia meluruskan tubuhnya menatap tepat ke arah Nathan yang kini tak memutus pandang.

Nathan membalas tanpa kata, hanya sunggingan nyaris mematikan terpahat nyata di seluruh sisi wajahnya.

"Kalau aku mau merebut Denisa darimu, apakah kamu mau? Bagaimana tanggapanmu jika aku melakukannya tepat di depan matamu!"

Semula tak tersulut, Nathan sama sekali tidak berekspektasi apapun terhadap pernyataan ataupun pertanyaan yang akan Arka sampaikan padanya. Tapi, kalimat yang baru saja terdengar, cukup membuat tangannya terkepal.

"Maksudmu? Denisa?"

Arka mengangguk seraya tak kalah terlihat memandang rendah kepada Nathan sekarang. Damn, dia akhirnya mendapatkan titik lemah Pria itu.

𝐒𝐞𝐛𝐮𝐚𝐡 𝐀𝐥𝐚𝐬𝐚𝐧 𝐏𝐚𝐭𝐚𝐡 𝐇𝐚𝐭𝐢 (𝐎𝐧 𝐆𝐨𝐢𝐧𝐠)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang