- 7 -

725 86 5
                                    

Aku duduk di sofa yang menghadap ke jendela kamarku. Memandangi langit yang berubah dari hitam, menuju ungu gelap dan sekarang berwarna biru tua dengan semburat oranye kemerahan di arah Matahari terbit. Aku menatap langit itu dalam diam, tenggelam dalam labirin di dalam pikiranku sendiri. Berputar putar, melewati pertanyaan yang sama, menanyakan hal yang sama, tapi tak pernah keluar.

Mengapa aku mau jadi pelacur? Karena aku suka. Bukan seksnya, bukan juga uangnya. Tapi karena kendalinya.

Aku suka bagaimana aku bisa mengendalikan laki laki melalui seks, mereka seperti mainanku. Dan tadi malam, Lukas adalah mainanku. Aku menggodanya dengan sentuhanku, melihatnya tampak tak berdaya menahan libidonya sendiri sungguh hiburan bagiku. Belum lagi saat ia memohon agar aku berhenti bermain main dengan kejantanannya, melihatnya mengemis sungguh membuatku merasa kuat. Rasa kosong di dalam hatiku mendadak terasa penuh. Terpuaskan.

Semua kepuasan itu ditutup sempurna dengan kalimat "I can never get enough of you..." saat kami berpisah.

Aku memegang kendali atas dirinya.

Namun saat aku kembali ke apartemen, rasa kosong itu menyelinap masuk lagi. Diikuti dengan rasa bersalah dan jijik pada diri sendiri. Aku menghabiskan setengah jam di kamar mandi sambil menggosok seluruh badanku, menghapus jejak yang dibuat Lukas sebelumnya, menghilangkan aroma yang ia tinggalkan di tubuhku.

Aku terus menggosok dan menggosok, tidak melewatkan sesenti pun bagian tubuhku tak tergosok. Meninggalkan rasa perih dan panas di beberapa bagian tubuhku saat selesai.

Saat langit berubah menjadi biru terang aku bangkit. Duduk di meja riasku dan menatap wajah yang tampak lelah dengan sorot mata tak berdaya.

Dasar kau gadis lemah...

Lalu aku mengambil alat make upku, menutupi lingkaran hitam di bawah mata dengan concealer. Memberikan warna dan dimensi pada wajah pucat ini, membuatnya menjadi lebih ramah dan menyenangkan untuk dilihat. Lalu aku tersenyum. Aku memoles wajahku dengan brush make up sambil terus tersenyum, semakin lama semakin lebar. Aku tersenyum terus sampai rasa hampa itu tergantikan dengan rasa haus untuk menguasai laki laki lagi.

Aku keluar apartemen sambil merapatkan syal di leherku, lalu merogoh tasku untuk mengambil ponsel dan dengan cepat mengetik pesan untuk Margareth.

Aku akan datang telat, harus ke Bank dulu.

Saat tengah berjalan menuju halte, aku melihat wajah yang familiar berdiri di kerumunan.

Wajah yang semalam menghabiskan banyak waktu diantara kedua kakiku, menghadiahiku dengan orgasme berkali kali. Lukas mengenakan kaca mata hitam, ia tersenyum ke arahku. Meski menutupi matanya dengan kaca mata aku bisa melihat wajahnya terus mengarah kepadaku, seakan menungguku untuk segera berdiri di sisinya yang kosong. Aku tersenyum kecil ke arahnya lalu berbelok, langsung menaiki taksi yang penumpangnya baru saja keluar. Saat taksi yang aku tumpangi melewati Lukas, aku menatap wajahnya yang kaget. Tak lama ponselku berdering. Ada nama Lukas di layarnya.

"Halo, Mr. Warren. Ada yang bisa aku bantu?"

"Ya, aku lihat kau menghindariku" ujar Lukas cepat.

Aku tertawa "Tidak, aku hanya sedang terburu buru"

"Apa kau kosong nanti malam?" tanyanya cepat.

Aku diam lama "Tidak bisa, ada pekerjaan yang harus aku selesaikan"

"Hmm, lusa?"

"Sepertinya aku tidak akan menerima pekerjaan sampai akhir pekan."

"Ohh..." Lukas mengucapkannya dengan nada, seperti sedang meledekku, "Apa kau menyarankan kita bertemu di akhir pekan saja? Seperti kencan"

IntertwinedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang