Kepergian Tara tak bisa Gina terima dengan mudah. Rasanya tabu, seperti sebuah mimpi buruk yang tak kunjung usai. Rasanya sakit, tapi Gina masih berharap jika ini hanyalah mimpi. Mimpi buruk yang sebentar lagi akan berakhir.
Seharian Gina terus menangis tanpa henti. Entah apa yang membuatnya terus menangis padahal ini hanyalah mimpi, cepat atau lambat Gina akan terbangun dan menjelani hidupnya.
Sesak, sakit, rasa itu terasa nyata dan menyakitkan. Bayangan Tara terus terlintas dibenak Gina. Setiap senyumnya, tawanya, semuanya terlihat jelas. Apa lagi dirumah ini, dikamar ini, Gina menghabiskan waktunya bersama. Tangisan Gina kian menjadi, dadanya terus sakit ketika mengingatnya. Air matanya pun juga mengalir menenani kesedihannya.
Diambang pintu sana sudah ada Marisa yang menatapnya. Wanita itu tersenyum, melangkah mendekati menantunya yang sedang berduka. Marisa duduk disamping Gina dan membelai rambutnya pelan.
"Gina yang sabar ya sayang. Maafin ibuk nggak pernah cerita soal ini ke kamu" Marisa menarik Gina kedalam dekapannya. Gina hanya diam setia memeluk kedua lututnya. Tangisan Gina semakin dibuat pecah. Andai Gina tau dari dulu, Gina akan meminta agar Tara berobat keluar negeri. Andai Gina tau, mungkin Tara masih hidup sekarang. Tapi itu semua hanya andai. Sebuah kata imajinasi yang paling pahit disepanjang sejarah.
"Harusnya ibuk kasih tau kamu. Maafin ibuk sayang" tangisan Gina semakin hebat. Kedua lengannya semakin memeluk lututnya erat, air matanya mengalir semakin deras. Andai, andai, dan andai. Hanya satu kata pembuka yang memenuhi batin Gina saat ini.
Marisa hanya bisa tersenyum sendu tak mendapat respon dari menantunya. Marisa akui ia salah, seharusnya ia memberitahu Gina dari dulu. Mungkin pengobatan putranya akan berjalan sempurna karena mendapat dukungan dari wanita yang sangat ia cinta. Tapi Marisa sudah lalai, ia melupakan itu ketika Rega hadir kedunia.
"Ibuk pulang dulu ya sayang, udah malem. Jangan nangis terus, kasihan Aksanya keganggu disana" pesan Marisa sembari menghapus air matanya yang ternyata sudah mengalir. Gina masih terus menangis tak mempedulikan Marisa sama sekali.
Lagi-lagi Marisa hanya bisa tersenyum. Ini memang salahnya, wajar jika Gina marah padanya.
Pintu tertutup. Kembalilah Gina seorang diri disini.
"Maafin aku Tar maafin aku hiks hiks hiks" lirihnya penuh penyesalan. Mengingat kata-kata terakhir Tara, mengingat apa yang sudah Tara lakukan sebelum pergi, itu sangat menyayat hati Gina. Tara rela berseteru dengannya setiap hari hanya untuk Gina agar berubah menjadi lebih baik. Kenapa?? Kenapa Gina belum sampat menjadi istri yang baik untuk Tara yang sudah sangat baik kepadanya?? Kenapa selama ini Gina hanya bisa menyakitinya dan terus menyakitinya sampai akhir hayatnya??
"AAKHHHH" Gina mengacak-acak rambutnya geram.
"TARAAA hiks hiks hiks" Sakit, menyesal, semuanya ia rasakan sekaligus. Kenapa?? Kenapa harus berakhir seperti ini????
Disaat Gina dipenuhi oleh penyesalan dan rasa bersalah, Tiba-tiba ada lengan yang menarik tubuhnya. Seketika aroma khas milik pria itu tercium hidung Gina. Siapa lagi kalo bukan Handit.
Handit menariknya pelan, membawa Gina kedalam kedapannya. Gina hanya diam setia pada posisinya. Pria ini masih sama, selalu membawa aura ketenangan tersendiri bagi Gina. Aroma tubuhnya yang membuat Gina semakin nyaman ada didekatnya.
Keduanya hanya diam tak berkata sama sekali. Gina yang terus menangis sedangkan Handit hanya diam membelai rambut sang istri tercinta. Perlahan Handit mendaratkan bibirnya kekening Gina. Seketika Gina terdiam. Jika Handit menciumnya, Gina seperti tertaklukkan. Bibir Handit seperti mengandung racun yang akan membuat Gina tak berdaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Bride 2 (Tamat)
Romance(Tahap revisi) 15++ Sequel yang bisa dibaca secara terpisah Satu takdir sepasang manusia yang sama-sama dibuat gila karena Cinta. Takdirnya yang tertukar karena masa lalu membuat keduanya tersiksa secara bersamaan dengan cara yang berbeda. Mereka...