It's Enough (part 2)

4.7K 542 68
                                    

Ruangan sepi itu mulai bersuara saat tim dokter datang memeriksa keadaan Tamara. Ada dua perawat perempuan dan dua dokter, masing-masing dokter umum dan psikolog. Dua dokter itu memperkenalkan diri dengan ramah dan senyum yang tidak pernah hilang dari wajahnya. Mereka bergantian menjelaskan tentang gejala yang mungkin Tamara rasakan usai kehilangan banyak darah.

Alex sudah berdiri di samping ranjang Tamara. Mengurung semua tanya tentang keadaan sahabatnya itu. Entah kapan terakhir kali ia menghubungi perempuan yang kini terbaring itu. Mungkin saat Opa Surya meninggal. Ia tahu betul sifat Tamara. Di balik senyumya, ada banyak luka yang ia pendam. Di balik semua kesan sempurna yang ia miliki, ada banyak kekurangan yang coba ia tutupi.

Tamara adalah orang yang tertutup. Segala kesedihan biasanya ia simpan sendiri, hanya pada Alex ia seri g berbagi. Kadang, hanya dengan senyuman dan pelukan lelaki itu semua kegelisahannya bisa menguap.

"Alex!" panggil Tamara saat Alex hendak menutup pintu kamar yang tidak diutup rapat oleh tim dokter tadi. Langkah Alex terhenti dan kembali mendekat. Lelaki itu segera meraih tangan Tamara yang terangkat sedikit, seakan Ingin meraih. Ia menyentuh selembut mungkin, mengingat pergelangan tangan perempuan itu diperban setelah dokter melakukan prosedur operasi kecil.

"Jangan pergi!" lirih Tamara yang dibalas anggukan oleh Alex.

"Aku di sini." Alex mengelus pelan rambut Tamara. Tatapanya sendu pada perempuan yang tidak ingin melepas pandang darinya. Teringat olehnya emosi Richard saat ia hubungi semalam. Benaknya mulai menyambung rentetan peristiwa yang mungkin memantik derita dalam diri Tamara. Kematian Opa Surya dan mungkin juga ada masalah dengan hubungan Tamara dan Richard yang menjadi penyebab perempuan itu nekad mengiris nadinya.

"Aku benci sendiri, Al." Tetesan air keluar dari kedua mata Tamara.

Sangat jarang Tamara memanggil Alex dengan sebutan masa kecilnya, Al. Sejak mereka tumbuh dewasa dan berpisah jarak, perempuan itu memanggil Alex atau Lex, seperti orang lain.

Alex terdiam dan terus mengelus kepala Tamara. Ia mengerti bagaimana sepi yang mungkin Tamara rasakan setelah Opa Surya meninggal. Satu-satunya orang yang menyayangi Tamara di keluarganya hanya Opa Surya. Didikan keras yang kadang terkesan otoriter telah dirasakan perempuan itu sejak kecil, bahkan hingga kini. Aturan-aturan dari keluarganya harus ia ikuti.

"Kenapa, Tammy?" tanya Alex akhirnya. Ia melekatkan mata pada mata bening Tamara. "Kamu tau kan, aku sangat sayang sama kamu. Aku selalu ada di sisi kamu. Tapi, tapi, kenapa kamu mau pergi?"

Mata Alex mulai berkaca-kaca. Membayangkan kemungkinan Tamara tidak terselamatkan saja sudah membuat hatinya remuk. Terlambat sedikit saja, mungkin kini ia hanya bisa menangis di depan tubuh tak bernyawa perempuan itu.

Isakan tertahan terdengar dari mulut Tamara. Lelehan air matanya tampak tidak henti.

"Maaf, Al. Maafin aku," lirih Tamara diikuti Isak dari bibirnya.

Alex menggeleng. Merasa tidak pantas mendengar ucapan maaf dari Tamara. Perempuan itu harusnya meminta maaf pada dirinya sendiri.

"Aku tidak punya siapa-siapa, Al. Aku kesepian," ungkap Tamara.

"Ada aku, Tammy. Aku tidak pernah pergi," papar Alex meyakinkan.

"Kamu udah punya Ayu. Kamu udah lupa sama aku," timpal Tamara memalingkan wajah. Ia terus terisak, antara sedih dan bersalah.

Tamara benar. Sejak Alex menikah, ia tidak pernah meluangkan banyak waktu untuk sahabatnya itu. Dulu, apa pun yang terjadi, Tamara selalu menjadi prioritasnya. Namun, sebagai seorang suami, Alex tahu yang mana yang harus menjadi pusat rotasi, anak dan istrinya.

Suddenly Marriage (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang